Minggu, 03 Juni 2012

TAREKAT SHADHILIYYAH


 TAREKAT SHA>DHILIYYAH


TAREKAT SHADHILIYYAH
                                                                                              
A. Pendahuluan                   
Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya, kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain secara individual atau kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922 M). Selanjutnya praktek pengajaran semacam itu dilakuka oleh sufi-sufi besar lain. Dengan demikian, timbullah dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan sufi yang mempunyai sufi tertentu sebagai shekhnya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid. Salah satunya adalah tarekat Shadhiliyyah di kawasan Maghribi (Maroko) Mesir.[1]
Tarekat Sha>dhiliyyah merupakan tarekat yang dinisbatkan kepada nama kampung di Tu>ni>sia yang bernama Sha>dhilah. Abu> Hasan al-Sha>dhili berasal dari desa Ghumarah di Maroko, kemudian merantau ke desa Sha>dhilah. Setelah itu, ia pergi ke Iskandariah (Mesir) dan menetap di sana, lalu menikah dan mendirikan tarekat. Beliau merupakan keturunan seorang sufi besar yang bernama Abu> Madya>n. Bahkan di kalangan sufi ada yang mengatakan derajat kewalian al-Sha>dhili lebih tinggi daripada Shekh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang tarekat Sha>dhiliyyah yang meliputi sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh ajarannya dan ajaran tarekatnya.

B. Sejarah Perkembangan Tarekat Sha>dhiliyyah
Kata  tarekat berasal dari bahasa Arab thari>qah yang berarti jalan. Kata ini juga bermakna al-ha>l yaitu keadaan (berada dalam keadaan/jalan yang baik dan jalan yang buruk). Dalam literatur Barat, kata thari>qah menjadi tarika yang berarti road (jalan raya), way (cara, jalan) dan path (jalan setapak). Sedangkan secara terminologis telah mengalami pergeseran makna. Pada abad ke 19 dan 20 tarekat merupakan suatu metode moral psikologi untuk membimbing individu dalam mempraktekkan panggilan mistiknya. Tarekat juga berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqa>mat) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Bila dicermati tarekat merupakan jalan atau metode yang ditempuh para sufi dalam melakukan ibadah, dhikir dan doa. Cara ibadah, dhikir dan doa itu diajarkan seorang guru sufi kepada muridnya dengan penuh disiplin. Dari hubungan antara guru dan murid inilah berkembang kekerabatan sufi. Kekerabatan tersebut, biasanya mengambil tempat di suatu pondok yang disebut zawiyyah atau khanqah, yakni tempat para sufi menghabiskan waktu dan hari-harinya untuk beribadah, berdhikir dan berdoa yang bertujuan untuk membersihkan batin dalam menapaki maqam-maqam  kerohanian menuju maqam tertinggi yaitu maqam baqa’ fi Allah.[3] Dengan demikian, suatu gerakan tarekat dapat berkembang dan tersebar ke penjuru dunia. Para pengikut yang ada pasti berusaha dan menyebarluaskan ajaran yang dibawa tarekatnya.
            Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Sha>dhili kepada para muridnya,  kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu Ta>rekat al-Sha>dhiliyyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tu>ni>sia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
            Tarekat al-Sha>dhiliyyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidu>n, yakni Hafsiyyah di Tu>ni>sia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Timur (Mesir) di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat al-Sha>dhiliyyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tu>ni>sia). Dengan demikian, peran daerah Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak abad ke 7 H/13 M sangatlah jelas.[4]
Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada abad ke 9 H / 15 M yang mengakhiri kejayaan Islam disana, Afrika Utara tetap menjadi benteng pertahanan spiritualitas sufi, khususnya di daerah Timur (Mesir) sudah mulai mengalami kemerosotan berkepanjangan. Semakin melemahnya kekaisaran Usma>niyah dan Safawiyah juga sekaligus merupakan tanda kemunduran spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pergerakan tarekat Sha>dhiliyyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab.[5] Ini berarti ta>rekat Sha>dhiliyyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.
Di Maghribi (Maroko), al-Sha>zili sangat terkenal dan banyak sekali pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas kehebatan al-Sha>dhili. Bahkan ada pula yang berani melontarkan bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri Maghribi, karena itu Abu> al-Hasan pindah ke Mesir.[6]
         Pada tahun 624 H ia pindah ke Mesir bersama para muridnya dan disinilah terbentuk institusi tarekat bernama al-Sha>dhiliyyah. Diantara muridnya yang ikut pindah dari Tu>ni>sia ke Mesir ialah Shekh Abu> Abba>s al-Mursi> (w. 686 H) dan Shekh Ibnu At}a’illah. Maka kedua muridnya inilah yang kemudian mengembangkan ta>rekat al-Sha>dhiliyyah. [7]
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tu>ni>sia dan Alexandria), tetapi kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H / 16 M, seperti Ali> al-S>}anha>ji> dan muridnya Abd al-Rahma>n al-Majzu>b adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dulu ta>rekat ini juga telah diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama’ terkenal abad ke 9 H / 15 M yaitu Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
Imam Sha>dhili meninggal pada tahun 656 H / 1258 M dimakamkan di Humaithra, sebuah daerah dekat Laut Merah. Beliau meninggal ketika sedang dalam perjalanan pulang dari ibadah haji.[8]

C. Tokoh-Tokoh Ajaran Tarekat Sha>dhiliyyah
 Tarekat Sha>dhiliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu> Hasan al-Sha>dhili. Secara lengkap nama pendirinya Ali> bin Abdulla>h bin Abd al-Jabba>r Abu> Hasan al-Sha>dhili (w. 1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali> bin Abi> T}a>lib dan Siti> Fa>t}imah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Sha>dhili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut : Ali> bin Abdulla>h bin Abd al-Jabba>r bin Yu>suf bin Ward bin Batt}al bin Ahmad bin I>sa> bin Muhammad bin Hasan bin Ali> bin Abi> T}a>lib.[9]
 Ketika masuk ke Irak, pertama kali  beliau bergaul dengan Abu> al-Fath. Setelah itu ke Maroko bertemu dengan Abd al-Sala>m ibn Mashi>sh, gurunya, tepatnya di kota Fe>z, yang hidup secara mengasingkan diri di Ri>f di atas Jabal Alam.[10]
           Sepeninggal al-Sha>dhili, kepemimpinan ta>rekat ini diteruskan oleh Abu> al-Abba>s al-Mursi> yang ditunjuk langsung oleh al-Sha>dhili. Ia lahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686 H/1287 M di Alexandria. Di kota kelahirannya, juga lahir sufi dan ulama’ terkenal Ibn al-Arabi> dan Ibn Sab’i>n yang terakhir ini dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi>. Setelah dewasa, al-Mursi> dan kakaknya beserta kedua orangtuanya berangkat menunaikan ibadah haji. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpanginya tenggelam di Teluk Aljazair. Dalam malapetaka itu kedua orangtuanya meninggal, namun ia dan saudaranya berhasil menyelamatkan diri.[11]
Diantara murid al-Mursi> adalah al-Bushi>ri> (w. 694 H / 1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber yang amat terkenal dengan dua shairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yakni al-Burdah (Shair Jubah) dan Hamziyyah yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lain adalah Shekh Najm al-Di>n al-Isfaha>ni> (w. 721 H /1321 M), beliau berkebangsaan Persia yang lama menetap di Makkah dan menyebarkan ajaran Sha>dhiliyyah kepada para jamaah haji. Beliau juga merupakan guru Sha>dhiliyyah bagi al-Ya>fi’i (w. 768 H / 1367 M). Melalui al-Ya>fi’i ta>rekat Ni’matullahi yang beraliran Shi>’ah mengadakan hubungan dengan Sha>dhiliyyah. Termasuk murid al-Mursi> adalah Shekh Ibn At}a’illah (w. 709 H/ 1309 M). Beliau merupakan guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah ta>rekat Sha>dhiliyyah.
Shekh Ibn Ata}’illah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, yaitu Shekh Abu> al-Abba>s al-Mursi>. Ia menulis beberapa buku yaitu al-Hikam, al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r, Lat}aif al-Minan, al-Qas}d al-Mujarrad fi> Ma’rifat al-Ism al-Mufrad dan Mifta>h al-Fala>h wa Mis}ba>h al-Arwa>h. Seluruh karyanya ini mendominasi karya-karya al-Sha>dhili>, sebab dialah Shekh pertama yang menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran ta>rekat Sha>dhiliyyah.[12]
Murid Sha>dhiliyyah lain yang terkenal adalah Ibn Abba>d al-Randa yang lahir di Randa Andalusia tahun 733 H / 1333 M dan meninggal pada tanggal 17 Juni 1390 M.[13]

D. Ajaran Tarekat Sha>dhiliyyah
Tarekat Sha>ziliyyah menekankan ajarannya pada sifat-sifat bat}iniyyah mengenai jalan spiritual / t}a>reqat. Oleh karena itu, para pengikutnya tidak mengenakan kain potongan yang seringkali dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka tidak melepaskan sama sekali kehidupan mereka sebagai pengembara, atau mengecam kesenangan dan kemewahan hidup, atau membenci mengenakan pakaian yang bagus dan indah. Sebab menurut Imam Sha>dhili>, pelepasan diri dari urusan duniawi tidak berarti menghindarkan diri dari keindahan dan tidak mengutuk badan.[14] Jadi penekanan yang dipentingkan oleh Imam Sha>dhili> adalah ma’rifat, yakni ketajaman dan penetrasi intelektual pada realitas (alam).
Adapun pokok-pokok ajaran tarekat Sha>dhiliyyah, terangkum dalam lima hal berikut :
1. Bertakwa kepada Allah SWT, baik di tempat yang sunyi maupun di tempat                                                                             yang ramai.
2. Mengikuti Sunnah Nabi dalam segala perkataan dan perbuatan.
3. Berpaling hati dari makhluk, baik ketika berhadapan maupun ketika   membelakanginya.
4. Ridha hati terhadap pemberian Allah SWT yang sedikit ataupun yang banyak.
5. Kembali kepada Allah SWT di waktu senang maupun di waktu susah.
Selanjutnya dari kelima ajaran tersebut dikatakan bahwa :
1. Untuk mencapai derajat takwa, harus ditempuh dengan jalan wara dan istiqa>mah.
2. Untuk mencapai sunnah, harus ditempuh dengan memelihara diri dan berakhlak al-Kari>mah.
3. Untuk mencapai berpaling dari keduniaan, harus di tempuh dengan jalan mengambil i’tibar dan bertawakkal.
4. Untuk mencapai sifat ridha kepada Allah, harus ditempuh dengan jalan bersifat qana>’ah dan pasrah di waktu senang dan susah.
5. Untuk mencapai ruju’ (kembali) kepada Allah, harus dicapai dengan jalan memuji dan bershukur dalam keadaan senang maupun susah.[15]
          Ajaran tarekat Sha>dhiliyyah banyak dipengaruhi oleh pemikiran sufistik al-Ghaza>li. Sehingga Ibnu At}a’illah pernah menyatakan bahwa al-Ghaza>li sangat diagungkan oleh Shekh Abu> al-Hasan al-Sha>dhili>, bahkan menyerukan pada para muridnya agar mengikuti dan meneladani pemikiran sufistik al-Ghaza>li. Sampai-sampai suatu saat al-Sha>dhili> konon menyerukan kepada para muridnya, jika mereka berhajat kepada Allah SWT tentang suatu hal, maka sampaikanlah kepada Allah melalui perantaraan al-Ghaza>li>.[16]Ta>rekat Sha>dhiliyyah merupakan aliran ta>rekat Sunni>.
Ajaran hizib (doa dan dhikir) tarekat Sha>dhiliyyah antara lain adalah hizb al-ashfa>’, hizb al-ka>fi atau al-auta>d, hizb al-bahr, hizb al-baladiyah, hizb al-barr, hizb al-nas}r, hizb al-muba>rak,hizb al-sala>mah, hizb al-nur dan hizb al-hujb. Hizib-hizib tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari murshi>d. Atau seorang murid yang ditunjuk oleh murshid untuk mengijazahkannya.[17]
Tarekat Sha>dhiliyyah tersebar luas di seluruh dunia Islam. Hal ini disebabkan karena ajaran ta>rekat tersebut sesuai dengan realita kehidupan.
Tarekat Sha>dhiliyyah juga tersebar di Andalu>sia (Spanyol). Disana, aliran tarekat ini dipimpin oleh Ibn Abba>d al-Randa (w. 790 H). Ia penulis sharh (penjelasan) atas kitab Al-Hika>m Al-At}a>’iyyah.[18]

E. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Sha>dhiliyyah dalam perkembangannya dimulai dari Mesir sampai ke Andalu>sia (Spanyol). Bahkan karena kesederhanaan ajarannya, tarekat Sha>dhiliyyah juga banyak diterima dan berkembang luas. Termasuk akhir-akhir ini juga tidak sedikit diikuti oleh umat Islam (sebagian) di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh ajarannya yaitu Abu> Hasan al-Sha>dhili>, Abu> al-Abba>s al-Mursi>, Shekh Ibn At}a>’illah dan Ibn Abba>d al-Randa. Mereka adalah tokoh terkemuka dalam tarekat Sha>dhiliyyah.
Selanjutnya ajaran tarekat Sha>dhiliyyah juga sederhana dan sesuai dengan realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran tersebut dapat diterima dan banyak pengikutnya.
Walla>hu A’lam bi al-S}awa>b.


                             DAFTAR PUSTAKA

Al-Barsany, Noer Iskandar. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi. Jakarta : Raja Grafindo    Persada, 2001.
Al-Hafni, Abd al-Mun’im. Ensiklopedia. Mesir : Maktabah Madbuli, 1999, cet. II.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas), terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jkt : Raja Grafindo Persada, 1999.
Jamil, M. Muchsin. Tarekat dan Dinamika Sosial Politik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Mulyati, Sri. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia. Jakarta Timur : Prenada Media, 2004.











ABSTRAK


Tarekat Sha>dhiliyyah merupakan tarekat yang dinisbatkan kepada nama kampung di Tu>ni>sia yang bernama Sha>dhilah. Abu> Hasan al-Sha>dhili berasal dari desa Ghumarah di Maroko, kemudian merantau ke desa Sha>dhilah. Setelah itu, ia pergi ke Iskandariah (Mesir) dan menetap di sana, lalu menikah dan mendirikan tarekat. Beliau merupakan keturunan seorang sufi besar yang bernama Abu> Madya>n. Bahkan di kalangan sufi ada yang mengatakan derajat kewalian al-Sha>dhili lebih tinggi daripada Shekh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang tarekat Sha>dhiliyyah yang meliputi sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh ajarannya dan ajaran tarekatnya.
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tu>ni>sia dan Alexandria), tetapi kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H / 16 M, seperti Ali> al-S>}anha>ji> dan muridnya Abd al-Rahma>n al-Majzu>b adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dulu ta>rekat ini juga telah diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama’ terkenal abad ke 9 H / 15 M yaitu Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
Selanjutnya ajaran tarekat Sha>dhiliyyah juga sederhana dan sesuai dengan realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran tersebut dapat diterima dan banyak pengikutnya.




















[1] M. Muchsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 49.
[2] Ja’far Sha>diq, Pertemuan Antara Ta>rekat dan NU (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), 39.
[3] Taufiq Abdullah dkk, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 152.
[4] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur : Prenada Media, 2004), 65-66.
[5] Ibid, 66-67.
[6] Ibid, 68.

[7] Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jkt : Raja Grafindo Persada, 2001), 87.
[8] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas) terjemahan Ghufron A. Mas’adi, (Jkt : Raja Grafindo Persada, 1999), 378.
[9] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur : Prenada Media, 2004), 14.
[10] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jkt : Raja Grafindo Persada, 1999), 378
[11] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur : Prenada Media, 2004), 67.
[12] Ibid, 69
[13] Abd al-Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia , (Mesir : Maktabah Madbuli, 1999),cet. II, 547
[14] Ibid, 548
[15] Noer Iskandar Al-Barsany>, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jkt : Raja Grafindo Persada, 2001), 88.
[16] Ibid, 89.

[17] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur : Prenada Media, 2004), 81-82.
[18] Abd al-Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia , (Mesir : Maktabah Madbuli, 1999),cet. II, 54.