Jumat, 27 April 2012

FILSAFAT ILMU



ARTIKEL
Ilmu Pengetahuan Dan Nilai
OLEH : NURUL ULYANI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagai manusia dengan daya berpikir yang melebihi makhluk lain, hendaknya segala tingkah laku kita selalu dapat dipertanggung jawabkan serta sesuai dengan etika kemanusiaan. Apalagi kita telah mengenal ilmu sejak kecil. Maka tuntutan untuk dapat menciptakan masyarakat yang berbudaya ilmu pengetahuan memang selazimnya dibebankan kepada manusia.
Ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) selalu mengalami pembaharuan dan perbaikan sesuai dengan kaidah atau norma kemajuan. Ilmu-ilmu ini selalu berada antara yang kurang menjadi sempurna, yang kabur menjadi jelas, yang bercerai-berai menjadi terpadu, yang keliru menjadi lebih benar dan yang masih rekaan manjadi lebih yakin.
Di tengah-tengah masyarakat muncul nilai-nilai yang memang tidak dapat dilihat dengan panca indra karena bersifat abstrak. Namun nilai memiliki peranan penting dalam merubah peradaban masyarakat termasuk manusia di dalamnya. Nilai tradisional yang melembaga dan terlalu mengikat akan menghambat perkembangan peradaban. Dan dengan adanya ilmu, merupakan salah satu solusi dari permasalahan tersebut.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku menyimpang serta kejahatan di kalangan masyarakat. Sehingga akan terwujud bangsa yang berbudaya ilmu pengetahuan, yang sesuai dengan perkembangan zaman modern ini, namun tidak terlepas dari kendali sebagai bangsa yang memiliki moralitas yan baik.
B. rumusan Masalah
Maka dalam makalah ini membahas tentang beberapa hal
1. Apa pengertian ilmu pengetahuan dan nilai ?
2. Bagaimana hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai hidup ?
3. Apa sajakah sumber nilai dalam ilmu pengetahuan ?
4. Mengapa ilmu tidak dapat terpisahkan dengan nilai-nilai hidup ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Nilai
1. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Inggris sciencei, dari bahasa Latin scientia yang artinya pengetahuan. Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah episteme. Dalam  Kamus bahasa Indonesia ilmu merupakan pengetahuan suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.[1]  Ilmu menandakan suatu kesatuan ide yang mengacu ke obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis.[2]  Sedangkan pengetahuan sendiri, menurut Max Scheler, filsuf bangsa Jerman, pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realitadalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualita yang lain itu. Sebaliknya, subyek yang mengetahui, dipengaruhi.[3]
Berdasarkan pengertian singkat tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa ilmu pengetahuan itu ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ihwal yang diselidiki atau obyek ilmu pengetahuan, yakni alam, manusia dan agama, sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran, yang dibantu pengindraan manusia itu yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.
2. Pengertian Nilai
“Nilai” dalam Kamus Filsafat, disebutkan berasal dari bahasa Inggris value dan dari bahasa Latin valere yang berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Dalam Encyclopedi Britannica, sebagaimana dikutip oleh M. Noor Syam disebutkan bahwa: “Value is a determination or quality of an object which involves any sort or appreciation or interest” Yang artinya nilai adalah suetu penetapan atas suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.[4]
Nilai dalam pandangan Brubacher tak terbatas ruang lingkupnya. Nilai tersebut sangat erat dengan pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks, sehingga sulit ditentukan batasannya.[5] Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai ini akan mencakup hal-hal yang dianggap baik dan hal-hal yang dianggap buruk. Nilai merupakan tema yang selalu ramai dibicarakan dalam kajian para filosof akan tetapi perbedaan pendapat di kalangan mereka belum dapat dipertemukan. Sekelompok ilmuwan ada yang menganggap bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai karena nilai dianggap tidak memadai untuk menjadi obyek ilmu. Alasannya, nilai sulit diobservasi dan diuji coba melalui eksperimen. Di sisi lain, ada juga ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu terikat oleh nilai. Sebab jika filsafat dan ilmu tidak dibingkai oleh nilai, maka hasil perenungan kefilsafatan dan hasil kajian keilmuan akan bergerak ke arah yang membahayakan. Kelompok terakhir ini, bahkan ada yang menyebut nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu tanpa nilai dengan demikian diibaratkan seperti tubuh tanpa ruh atau mati dan berarti tidak berguna. Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu berupa wawasan atau pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam.wawasan demikian sangat berguna bagi ilmu pengetahuan untuk selalu bersikap kritis terhadap lingkungannya.
B. . Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan Nilai-nilai Hidup
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan keilmuan maupun penggunaan ilmu, yang berarti dalam pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bersifat universal, bertanggungjawab pada kepentingan umum, dan kepentingan generasi mendatang.
Tanggung jawab ilmu menyangkut juga hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu dimasa lalu, sekarang maupun akibatnya di masa mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun manusia. Hal ini tentu menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan manusia, melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap Khaliknya.
Jadi perkembangan ilmu akan mempengaruhi nili-nilai kehidupan manusia tergantung dari manusianya itu sendiri, karena ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya
C . Sumber-sumber Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Sumber nilai yang berlaku dalam pranata kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Nilai Ilahi
       
            Nilai Ilahi ialah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para RasulNya, yang berbentuk taqwa, iman, adil, yang diabadikan dalam wahyu Ilahi. Nilai ini merupakan sumber yang pertama dan utama bagi para penganutnya yang bersifat statis dan kebenarannya mutlak. Pada nilai Ilahi ini, tugas manusia adalah menginterpretasikan nilai-nilai itu. Dengan interpretasi tersebut, manusia akan mampu menghadapi ajaran agama yang dianut.[6]
2. Nilai Insani
Nilai insani ialah nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis dan keberlakuan serta kebenarannya relative yang dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Nilai-nilai insani kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.
 D. Perbedaan Etika, Moral, Dan Norma
Teori nilai terbagi menjadi dua, yakni etika dan estetika. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini sehubungan dengan ilmu ialah etika. Etika, dalam kamus bahasa Indonesia, artinya ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
1. Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic yang berarti sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos yang mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[7]
Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Penyelidikan tingkah laku moral dapat diklasifikasikan dalam:
2. Moral  
Moral berasal dari bahasa Latin moralis yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Bila dijabarkan lebih lanjut moral mengandung empat pengertian;(a) baik-buruk, benar-salah, tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia, (b) tindakan benar, adil, dan wajar, (c) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan kepastian untuk mengarahkan kepada orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan (d) sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.[8]
3. Norma
 Dalam kamus bahasa Indonesia, norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Dan dari sini diperoleh arti pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengukur sesuatu yang lain, atau sebuah ukuran.
Berdasarkan pernyataan diatas etika secara bahasa dapat diartikan sebagai watak sedangkan moral diartikan sebagai kebiasaan. Menurut Frans magnis suseno dua istilah itu sebenarnya satu sama lain berbeda. Moral adalah sejumlah ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, peraturan dan ketetapan, tulisan-tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dn bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama. Sumber ajaran moral tidak tunggal. Ia berada dalam ruang yang sangat heterogen.
Etika menurut Frans, bukan sumber tambahan ajaran tentang moral. Ia adalah cabang atau pemikiran yang kritis dan mendasar tentang ajaran moral. Etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran. Yang mengatakan bahwa bagaimana manusia harus hidup, bukan etika, melainkan ajaran moral. Etika mengajarkan kenapa manusia mesti bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral lain yang ada disekitarnya. Ajaran moral seperti buku petunjuk bagaimana manusia harus memperlakukan sepeda motor dengan baik, sedangkan etika memberi manusia suatu pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu.
E. Posisi Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Etika
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan dikalangan masyarakat. Disamping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral dilingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cendekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik.
Sebagai suatu subyek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh indifidu ataupun kelompok untuk menimbang apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu slah atau benar, buruk atau baik. Dengan begitu dalam proses penilaiannya ilmu sangat berguna dalam menentukan arah dan tujuan masing-masing orang. Etika sebagi ilmu ketertiban dimana pokok maslah moralitas dipelajari. Singkatnya, ilmu tata susila adalah ilmu moralitas. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat seseorang. Maslah moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan juga mempertahankannya diperlukan keberanian moral.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian dirupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum dinilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral ataupun etika mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.


F. Mengapa Ilmu Tidak Dapat Terpisahkan dengan Nilai-nilai Hidup
Ilmu dapat berkembang dengan pesat menunjukkan adanya proses yang tidak terpisahkan dalam perkembangannya dengan nilai-nilai hidup. Walaupun ada anggapan bahwa ilmu harus bebas nilai, yaitu dalam setiap kegiatan ilmiah selalu didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Anggapan itu menyatakan bahwa ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri, yaitu ilmu harus bebas dari pengandaian, pengaruh campur tangan politis, ideologi, agama dan budaya, perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin, dan pertimbangan etis menghambat kemajuan ilmu
Pada kenyataannya, ilmu bebas nilai dan harus menjadi nilai yang relevan, dan dalam aktifitasnya terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai hidup harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu jika praktiknya mengandung tujuan yang rasional. Dapat dipahami bahwa mengingat di satu pihak objektifitas merupakan ciri mutlak ilmu, sedang dilain pihak subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya
Setiap kegiatan teoritis ilmu yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan yang merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa yang merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, dan otoritas yang merupakan kepentingan ilmu sosial.
Dengan bahasan diatas menjawab pertanyaan mengapa ilmu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai hidup. Ditegaskan pula bahwa dalam mempelajari ilmu seperti halnya filsafat, ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup manusia, yaitu:
1. Pendekatan Ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.[9]
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan
2. Pendekatan Epistemologi
Epistemologis adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal mula, sumber, metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkikan dipelajarinya pengetahuan yang berupa ilmu.[10]
Dalam kaitannya dengan moral atau nilai-nilai hidup manusia, dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual. Jadi ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan
3. Pendekatan Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk itu ilmu yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.[11]
G. Pengetahuan yang Bebas Nilai Dalam Perspektif Teori
Madzhab positivisme, dibangun dengan (salah satu) asumsi bahwa, pengetahuan haruslah bebas nilai. Hal ini diperlukan, agar para ilmuwan dapat memperoleh teori murni. Bila ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, maka ia harus menghasilkan hukum-hukum umum, dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam.  Untuk mencapai tujuan itu, riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan eksplanasi ilmiah yang tidak memihak, serta tidak memberi penilaian apa pun.  Oleh karena itu, dalam mendekati objek yang diteliti, ilmuwan sosial harus mampu melepaskan perasaan, harapan, keinginan, anggapan, penilaian moralnya, sehingga ia memperoleh pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau “fakta sosial”.
Klaim adanya kebebasan nilai dalam ilmu pengetahuan sebagaimana ditawarkan para pendukung madzhab positivisme tersebut, di tahap akhir perkembangaannya ternyata telah menyebabkan terjadinya krisis, tidak saja krisis dalam pengetahuan,[12] akan tetapi juga krisis dalam masyarakat.[13]
Sejalan dengan itu, kritik-kritik dari berbagai aliran pemikiran lain pun mulai muncul dan berkembang, baik yang ditujukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam pemikiran positivisme, maupun yang bermaksud menggantikannya dengan alternatif lain.  Salah satu aliran yang banyak melakukan kritik adalah para pemikir yang tergabung dalam madzhab Frankfurt (Atau dikenal juga dengan istilah Marxisme kritis atau Neo-Marxisme).[14] Meskipun terdapat perbedaan pandangan diantara para pendukung madzhab Frankrut, di dalam mengembangkan teori kritis ini.

BAB III
KESIMPULAN
            A. Ilmu pengetahuan itu ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ihwal yang diselidiki atao obyek ilmu pengetahuan, yakni alam, manusia dan agama, sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran, yang dibantu pengindraan manusia itu yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental. Sedangkan nilai sangat erat dengan pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks, sehingga sulit ditentukan batasannya. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat, yakni mencakup nilai baik dan buruk.
B. Etika merupakan suatu ilmu dan moral adalah suatu ajaran. Yang mengatakan bahwa bagaimana manusia harus hidup, bukan etika, melainkan ajaran moral. Etika mengajarkan kenapa manusia mesti bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral lain yang ada disekitarnya.
C. Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan dikalangan masyarakat. Disamping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral dilingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cendekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik.
D. Ilmu pengetahuan tidak dapat terpisahkan dengan nilai-nilai kehidupan. Ilmupengetahuan yang bebas niali dapat menyebabkan krisis dalam masyarakat





DAFTAR PUSTAKA
Wihadi  admojo,, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka 1998 )
Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, ( Jakarta : Gramedia 1987)
Surajiyo, Filsafat Ilmu, ( Jakarta : Bumu Aksara 2008 )
http://Filsafat Ilmu.blogspot
Sudarsono, Ilmu Filsafat, ( Jakarta : Renika Cipta 1993 )
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta :Pustakarya 2011)
Bakhtiar Amsal, H., Dr,. M.A., Filsafat Ilmu, Jakarta: Logos 2005
http://referensiagama.blogspot.com
Mustofa, Ahmad, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia 2004
Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, 1998, Jakarta: IKAPI
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat Ilmu & Teknologi. Rineka Jakarta:Cipta, 2004.
Toyyibi, muhammad, filsafat ilmu dan perkembangannya. surakarta:muhammadiyah univercity press, 1997
Amril M. NILAINISASI ILMU (Sebuah Upaya Integrasi Ilmu dalam Pembelajaran Sekolah di Era Globalisasi.). http://www.uinsuska.info.
Chariri, Anis. Critical Theory. http://74.125.153.132/ search?. Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP. Oktober 2008
Kattsoff, Louis O.. Pengantar Filsafat. alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1996.
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat. Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.
Sugiharto, I Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 2000.
Suseno, Franz Magnis. Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gotholoco ke Filsafat Perempuan . dari Adam Müller ke Postmodernisme. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. 2005.




[1] Wihadi Admojo, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka 1998 ) hlm 324
[2] Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, ( Jakarta: Gramedia, 1987 ) hlm 2
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu,( Jakarta : Bumi Aksara 2008) hlm 146
            [4] http://filsafat-ilmu.blogspot.com

            [5] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta :Rineka Cipta 1993),hlm326
[6] Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: IKAPI 1998 )

[7] Sudarsono, ibid,hlm 352
[8] Chariri, Anis. Critical Theory. http://74.125.153.132/ search?. Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP. Oktober 2008

[9] Sudarsono,ibid, hlm 191
[10] Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengtahuan, (Jakarta: Pustakarya 2011), hlm 12
[11] http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1872677-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar-populer
[12] Krisis ini lebih menyangkut menyempitnya pengetahuan sebagai akibat reduksi-reduksi metodologis yang ditawarkan dan dipraktikan oleh madzhab postivisme, yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan. Lihat lebih lanjut F. Budiman Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosois tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Op. Cit, hal. 50-51.
[13] Krisis kemanusiaan terjadi, karena positivisme yang berupaya mengilmiahkan (merasionalisasikan) masyarakat dan kehidupannya, pada gilirannya jutsru mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia, sampai akhirnya menginstrumentalisasikan manusia. Totalitas saintisme memecah belah manusia sampai pada akar-akar integrasinya. Lihat lebih
[14] Budiman Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosois tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Op. Cit, hal. 54