Jumat, 11 Mei 2012

STUDI AL-QURAN


TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF

Oleh
Nurul Ulyani

A. Pendahuluan
Al-quran adalah kalam Ilahi yang diturunkan kepada Rasullullah SAW. Sebagaimana al-quran tertulis dalam mushaf yang dapat dibaca dan dipahami. Fakta hitoris mengungkapkan yang dapat dibaca dan dipahami. Fakta historis mengungkapkan bahwa al-Quran turun pada masyarakat nomaden yang buta huruf ( ummi\y ) dan diturunkan kepada seorang nabi yang juga buta huruf. Karena al-Quran berupa wahyu yang dapat diucapkan, maka Rasullah SAW mengajarkan al-Qur’an kepada ummatnya dengan cara verbal dari lisan ke lisan .
Para shahabat menyebarkan al-Quran dengan cara yang sama kepada shahabat yang lain. Metode pengajaran yang verbalis akhirnya menjadi satu – satunya metode yang dianggap sah dalam pengajaran al-Quran. Karena para shabat tidak semua dari klan ( Kabilah) yang sama,  sehingga pada akhirnya menimbulkan perbedaan dialek bacaan al-Quran. Munculnya  term “ ahruf sab’ah “ dalam kajian al-Quran disinyalir sebagai keringanan Allah. Untuk umat islam dalam kaitannya dengan cara membaca al-Quran. Memang para shahabat belajar al-Quran dari Rasullah, namun perbedaan dialek membuahkan bermacam-macam versi cara membaca. Dalam keadaan seperti ini, kemudian para shahabat berpindah dan berdomisilinya di daerah – daerah yang berbeda-beda. Para tabi;in yang mengambil al-Quran dari mereka pun menerimanya dengan versi bacaan masing – masing sahabat. Dengan demikian juga tabi’ut-tabi’in, mereka belajar al-Quran dari tabi’in dalam beragram versi.
Allah Maha bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh orang arab dengan maksud untuk mempermudah mereka dalam memahaminya. Di samping itu, untuk mempermudah bacaan, pemahaman dan hafaan al-Qur’an kepada mereka karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Allah berfirman QS. Yusuf:02
  
. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

            Nas-nas sunah cukup banyak mengemukaan hadis mengenai turunnya al-Qura’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
1.      Ibn Abbas
Qa>la rasululla>hi s}allalla}hu ‘alaihi wasallama : ’aqra’ani> jibri>lu ‘ala h}arfin faraja‘tuhu, falam ’azal ’astazi>duni> h}attan taha ’ila sab‘ati ’ah}rufin
 Rasulullah  ber kata: jibril membacakan al-Quran kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu di tambah, dan ia pun menambahnya kepadaku samapai dengan tujuh huruf.[1]
2.      Ubai bin Ka’ab
’anna Nabiyya s}allalla>hu ‘alaihi wasallama ka>na ‘inda ‘ad}a>’ati bani ghaffa>rin qa>la : fa’ata>hu jibri>lu faqa>la: innalla>ha ya’muruka ’antuqria ummataka al-Qur’a>na ‘ala h}arfin faqa>la : ’asalulla>ha mu‘a>fatahu wamaghfiratahu, wa’anna ummati> latut}iqu dha>lika, thumma ’ata>hu al-tha>niyata faqa>la :’innalla>ha ya’muruka’antuqria ’ummataka al-Qur’a>na ‘ala h}arfaini faqa>la :’asalulla>ha mu ‘a>fatahu wa maghfiratahu, wa’anna umati latutiqu dhalika. Thumma ja’a al-Thalithata faqala :’innallaha ya’muruka antuuqria ummataka al-Qur’ana ‘ala thalathati ’ahrurin, faqala:’as’alullaha mu ‘afatahu wamaghfiratahu, waanna ’ummati latuthiqu dhalika. Thumma ja’a al-rabi ‘ata faqala :’innallaha ya’muruka’antuqri ummataka al-Qur’ana ‘ala sab ‘ati ’ahrufin, fa’aiyuma harfin qara’u> ‘alaihi faqad’as}a>bu>
Ketika nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi jibril seraya mengatakan : Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu denga satu huruf, ia menjawab : aku memohon kepada Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan perintah itu,  kemudian jibril datang lagi yang kedua kalinya dan berkata : Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan dua huruf, nabi menjawab: aku memohon kepada Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan perintah itu,  kemudian jibril datang lagi yang ketiga kalinya dan berkata : “ Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan tiga huruf, nabi menjawab: aku memohon kepada Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan perintah itu. kemudian jibril datang lagi yang keempat kalinya seraya berkata : “ Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan tujuh  huruf, dengaf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.[2]
3.       Umar bin Khattab, ia berkata :
Sami’tu hisabni h}aki>m yaqro’u su>rota al-Furqo>ni fi> h}a>ti rosu>lilla>hi sollalla>hu ‘alaihi wa sallama fastama’tu liqiro>atihi faidha> huwa yaqrouha> ‘ala> h}uru>fin kathi>rotin lam yuqrikni>ha> rasu>lulla>hi s}ollalla>hu ‘alaihi wa sallama fakidtu usa>wiruhu> fi> al-s}ola>ti fantaz}iruhu h}atta sallama, thumma lababtuhu barida>ihi faqultu : man ’aqroaka ha>dhihi al-su>rota ?qo>la : aqro’ani>ha> rosu>lulla>hi sollalla>hu ‘alaihi wasallama, qultu lahu>: kadhabta fawalla>hi, rosulalla>hi sallahu ‘alaihi wasallama aqroani> hadhihi al-su>rata al-lati> sami’tuka taqra’uha>, fant}alaqtu aquduhu ila rasulilahi sallala>hu ‘alaihi wa sallama, faqultu : ya>rasu>lalla>hi, inni sami’tu hadha> yaqra’u bisu>rata al-Furqo>ni. ‘ala h}uru>fin lamtuqrini>ha> ,wa’anta ‘aqrotani> su>rata al-Furqo>ni. Faqo>la rasulla>hi sallahu ‘alaihi wa sallama : arsi>lahu ya> ‘umaru ,iqra’au ya >hashim ,faqora>  ha>dhihi al-Qira>’ata al-lati> sami’tuhu yaqrauha> ,faqo>la rasulalla>hi sallallahu ‘alaihi wasallama :iqrau ya’umaru ,faqoraatu al-qiraata al-lati aqrani rasulallahi sallalla>hu ‘alaihi wasallama ,faqola rasulallahi sallahu ‘alai wasallama : hakadha unzilat ,thumma faqo> la rasululla>hi salla<llahu ‘alaihi wa sallama : inni hadha al-Qur’ana unzila ‘ala sab‘ati ’ahrufin , faqra’u matayassara minha.
”aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surah al-Furqan di masa hidup Rasullah. Aku perhatikan bacaanya. Tiba-tiba ia membaca nyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia salat, tetapi aku berusaha sabar menunggu sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya : “Siapakah yang membacakan ( mengajarkan bacaan ) surah itu kepadamu?” ia menjawab: Rasulullah yang membacakan kepadaku.’lalu aku katakan kepadanya : dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya ( tapi tidak seperti bacaanmu).’kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku. Maka Rasulullah berkata : wahai Hisyam ! Hisyam pun kemudian membacakannya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasullullah : “begitulah surah itu turun. Ia berkata lagi: “bacalah wahai umar ! lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah : “begitulah surah itu diturunkan. Dan katanya lagi : sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantarany.[3]
           
           
B.Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf
Secara  terminology, belum ada kepastian definisi dari Rasullah, maupun ulama. Mereka masih berbeda pandangan dalam mendefinisikan sab’ah ahruf. Rasulullah  pun dalam haditsnya tidak memberikan makna pasti terhadap istilah ini. Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa tidak ditemukan nash maupun atsar yang menjelaskan makna sab’ah ahruf, sehingga ulama berbeda pendapat dalam mendefisinikannya.[4] Abu Hatim ibn Hibban al-Bastani  berkata,” ulama berbeda pendapat tentang hal ini menjadi 35 pendapat”.[5]
Al-ah}ruf adalah bentuk jamak dari lafal h}arf. Lafal h}arf ini mempunyai makna yang banyak. Salah seorang pengarang kamus mengatakan, h}arf dari segala sesuatu berarti ‘ ujung atau tepinya”, sedangkan h}arf gunung berarti “puncaknya”. Pengertian h}arf ialah salah satu bentuk huruf hijaiyah.[6]  Ah}ruf menurut Ibn Faris, huruf ha’ ra’ dan fa’ adalah tiga pokok yang berarti batasan sesuatu, keseimbangan dan takaran sesuatu.[7] Sedangkan menurut terminologi, sab’ah adalah nama bilangan antara enam dan delapan yang dalam bahasa Indonesia berarti tujuh.[8]
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Terdapat lima pendapat para ulama dalam hal ini yaitu :[9].


1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur'an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur'an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin,Kinanah,TamimdanYaman. Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur'an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi'ah, Haazin, dan Sa'd bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain."[10]
2. Pendapat kedua
Suatu hukum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dimmana Qur'an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur'an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih di antara kalangan bangsa arab.Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur'an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.[11]
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah al-Qur'an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu 'Ubaid bahwayang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur'an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain. Dan sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur'an."
3. Pendapat Ketiga
Sekelempok  ulama menyatakan, yang di maksud adalah bahw dalam al-Qur’an terdapat tujuh aspek hukum/ajaran yaitu berupa : perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, amsal. Pendapat ini mengatakan bahwa yang di maksud dengan tujuh aspek tersebut yaitu : muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, khash, am( umum )qas}as[12].
Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi berkata, "Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur'an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal."
4. Pendapat Keempat
Ulama lain diantaranya Ima>m Abu> al-Fadl al-Ra>zi> mengatakan, yang dimaksud adalah bahwa keragaman lafaz atau kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an itu tidak lepas dari tujuh hal berikut[13] :
 a. Ikhtilaful asma' ( perbedaan kata benda )
Yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal), muzakkar (laki)dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, (double), jamak (plural)dan ta'nis (perempuan). Misalnya firman Allah ( al-Mukminun(23:8) )
  
artinya dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Pada kata öNÎgÏF»oY»tBL{( li’ama>natihim),dengan bentuk mufrad dan dibaca pula li’ama>na> tihim  dengan bentuk jamak. Sedangkan rasamnya dalam mushaf adalah li’amanatihim, yang memungkinkan kedua qira>t itu  karena tidak ada alif  yang disukun. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qira>t itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksud untuk arti keseluruhan yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang dimenunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya[14].
b. Ikhtilaf fil i'rab atau Perbedaan dalam segi I'rab,
yaitu kedudukan atau status lafaz tertentu dalam suatu kalimat, seperti yang terdapat dalam firman Allah(QS. Yusuf:31):
rèŒ Ä¸öyèø9$# ߊÉfpRùQ$# ÇÊÎÈ    
yang mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia
Lafaz al-majid (ŠÉfpRùQ$#) dalam ayat diatas, berkedudukan sebagai sifat (rèŒ ) dari (ŠÉfpRùQ$#), tetapi bisa juga berkedudukan sebagai sifat dari al-‘Ars ( ¸öyèø9$# ), sehingga bunyi ayat tersebut menjadi : dhu al-‘arshi al-maji>d ( rèŒ Ä¸öyèø9$# ߊÉfpRùQ$#    ).
c. keragaman yang berkenaan dengan bentuk fi’il tyaitu bentuk madi, mudari, dan bentuk amar.
 Sebagai contoh firman Allah saba’:19
  
Dibaca dengan dinasabkan lafazh (  $uZ­/u ) karena menjadi munada’ dan dibaca dengan ( dalam ayat diatas, bisa dibaca ( Ïè»t/  ) . sebagai amar.
d. Mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir). atau lebih dikenal dengan taqdim dan takhir
 وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقContoh (Surah Qaf: 19) dibaca dengan didahulukan ‘al-haq’
 dan diakhirkan ‘al-maut’, وَجَاءَتْ سَكْرَةُالْحَق بِالْمَوْتِ . Tapi Qiraat ini dianggap lemah.
e. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi. Contoh ayat 3, Surah al-Lail,
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى Ada qiraat yang membuang lafaz ‘ma kholaqo’
f. Perbezaan lahjah seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wad}d}uha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah , yaitu dengan bunyi ‘wad}d}uhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).
g. Keragaman dalam bentuk ’ibdal yaitu penggati suatu huruf atau lafat lain yang ma ‘nanya sama.

5.PendapatKelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur'an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
Sebab lafaz sab'ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti kata tujuh puluh' dalam bilangan bilangan puluhan, dan 'tujuh ratus' dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6.PendapatKeenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
C. Hikmah diturunkan Al-Quran dengan tujuh huruf
1.        Mempermudah umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Quran, sedangkan mereka memilki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat kearabannya. Hikmah ini diambil dengan alas an sabda Rasulullah SAW, “Agar mempermudah umatku”. Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya “
Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazari berkata, “ Adapun sebabnya al-Quran didatangkan dengan tujuh huruf, adalah memberikan keringanan kepada umat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat dan spesialisasi yang diberikan kepada umat utama di samping untuk memenuhi tujuan nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah telah memerintahkan umatnya untuk membaca Al-Quran dengan satu huruf “[15]. Kemudian Nabi SAW menjawab, “ Aku meminta ampunan dan magfirah kepada Alloh karena umatku tidak mampu melakukannya “ Beliau terus mengulang-ulang pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
Lebih lanjut lagi, Imam Jazari mengatakan, Seperti telah ditegaskan bahwa Al Quran diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf, sedangkan kitab-kitab sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf. Hal ini karena Nabi-nabi terdahulu diutus untuk semua makhluk, kulit hitam atau kulit merah dan bagi orang berbangsa Arab atau orang berbangsa Ajam.[16] Bahkan, orang-orang Arab sendiri, walaupun al Quran diturunkan dengan bahasanya, memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Karena itu, sulit bagi mereka meskipun telah belajar dan berusaha dengan keras, untuk membaca Al Quran dengan satu huruf. Siapa yang tidak pernah membaca kitab seperti keterangan Rasul di atas, meskipun mereka pun dipaksa untuk berpindah dari bahasa dan dialeknya, tidak akan melakukannya.
2.  Menyatukan  umat Islam dalam satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan di kalangan suku – suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan lainnya.  Oleh karena itulah, Al Quran diturunkan dalam tujuh huruf yang terpilih dari bahasa Kabilah – kabilah arab yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy. Ini merupakan hikmah Ilahi yang luhur karena menyatukan bahasa nasional merupakan factor dalam menyatukan bangssa, khususnya pada masa pertama kalinya bangsa itu berkembang.
3.  Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
4.        Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
5.        Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum yang dapat berlaku dalam setiap masa













D. Kesimpulan
Bahwa pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama (A), yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa – bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Wahb dan lainnya.
Pendapat kedua (B) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa – bahasa Arab dimana  Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kalimat – kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur’an telah mencakupnya – dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim, keduanya adalah orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya). Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz – lafaz mengenai makna yang sama. Dan itulah  pendapat yang kita kukuhkan. 
Pendapat keempat (C) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf. Dijawab, bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan telah diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan  bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama.
Pendapat kelima (D) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas; seperti “ Jibril membacakan Al Quran kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf
Pendapat ketiga (E) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal (makna), yaitu : amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal – dijawab, bahwa nazir hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam satu ayat, dan keleluasan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Pendapat keenam (F yang menyatakan maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab, bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat













DAFTAR PUSTAKA


Al-Bukhari, S}ah}ih}  al-Bukhari, ( Beirut : Idar al-Thiba’at al-Muniriyat )
Al- Imam Muslim, S}ah}ih  Muslim, ( Mesir : dar al- Syib) juz ke-2
Az-Zarkasyi, al- Burhan fi Ulum al-Qura’an, ( Maktabah dar At- Turats, kairo, jilid I),
 Muhammad ‘ali> al-S}a>bu>ni>, Tibyan f>i ‘ulumil al-Qur’an, (Damaskus 1991)
Ahmad warson munawir, al-Munawir, (Yogyakarta 1984),
Faizin, Kontroversial Ulumul Qur’an, (Kediri, Azhar Risalah, 2011),
al-Sayid Rizaq al-T}awil ,Fi> ‘Ulu>m al-Qira>at, ( Mekkah : al-Maktabat al-Fayshaliyat, 1985
Manna>’a  al-Qat}t}an, Mabahis fi> ’ulu>mi al-Qur’an, ( mansyurat al- Asr al-Hadits 1973
Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia Bandung 1998),









[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, ( Beirut : Idar al-Thiba’at al-Muniriyat ) juz ke-6 hlm 227
[2] Al- Imam Muslim, S>}ah}ih} Muslim, ( Mesir : dar al- Syib) juz ke-2 hlm 468
[3] Al-Bukhari, hlm 227
[4] Az-Zarkasyi, al- Burhan fi Ulum al-Qura’an, ( Maktabah dar At- Turats, kairo, jilid I), hal 212
[5] Ibid, hal 212
[6] Ahmad warson munawir, al-Munawir, (Yogyakarta 1984), hal 274
[7] Faizin, Kontroversial Ulumul Qur’an, (Kediri, Azhar Risalah, 2011), hal 114
[8] Ibid, hal 114
[9] Manna>’a  al-Qat}t}an, Mabahis fi> ’ulu>mi al-Qur’an, ( mansyurat al- Asr al-Hadits 1973),hlm 158-161.lihat pula : Muhammad Ali al-Shabuni,op-cit,hal 214-216.juga ahmad ‘Adil Kamal,op.cit,hal 84-88. Sumber lain menyebutkan tujuh pendapat ( lihat :al-Sayid Rizq al-Thawil, Fi ‘ulumi al-Qira’at,(Mekah : al-Maktabat al-Fasyhaliyat, 1985 ),cet ke-1 hlm 136 -143.
[10]  Manna>’a  al-Qat}t}an, Mabahis fi> ’ulu>mi al-Qur’an ,hlm 158
[11] Muhammad ‘ali> al-S}a>bu>ni>, Tibyan f>i ‘ulumil al-Qur’an, (Damaskus 1991), hlml 221
[12] Aminudin, Studi Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia,Bandung 1998), hlm 363
[13]Rizaq al-T}awil ,Fi> ‘Ulu>m al-Qira>at, ( Mekkah : al-Maktabat al-Fayshaliyat, 1985)cet I hlm 136
[14] Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 231
[15] Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia Bandung 1998),hal 360
[16] Ibid, hal 360