TAREKAT SHA>DHILIYYAH
TAREKAT SHADHILIYYAH
A. Pendahuluan
Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara
individual. Tetapi dalam perjalanannya, kemudian tarekat diajarkan kepada orang
lain secara individual atau kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini
sudah dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922 M). Selanjutnya praktek pengajaran
semacam itu dilakuka oleh sufi-sufi besar lain. Dengan demikian, timbullah
dalam sejarah Islam kumpulan-kumpulan sufi yang mempunyai sufi tertentu sebagai
shekhnya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau
murid-murid. Salah satunya adalah tarekat Shadhiliyyah di kawasan Maghribi (Maroko)
Mesir.[1]
Tarekat Sha>dhiliyyah merupakan tarekat yang dinisbatkan kepada nama kampung
di Tu>ni>sia yang bernama Sha>dhilah. Abu> Hasan al-Sha>dhili berasal dari desa Ghumarah di
Maroko, kemudian merantau ke desa Sha>dhilah. Setelah itu, ia pergi ke
Iskandariah (Mesir) dan menetap di sana, lalu menikah dan mendirikan
tarekat. Beliau merupakan keturunan seorang sufi besar yang bernama Abu>
Madya>n. Bahkan di kalangan sufi ada yang mengatakan derajat kewalian al-Sha>dhili
lebih tinggi daripada Shekh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang tarekat Sha>dhiliyyah yang
meliputi sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh ajarannya dan ajaran tarekatnya.
B.
Sejarah Perkembangan Tarekat Sha>dhiliyyah
Kata tarekat berasal
dari bahasa Arab thari>qah yang berarti jalan. Kata ini juga
bermakna al-ha>l yaitu keadaan (berada dalam keadaan/jalan yang baik dan
jalan yang buruk). Dalam literatur Barat, kata thari>qah menjadi tarika yang berarti
road (jalan raya), way (cara, jalan) dan path (jalan
setapak). Sedangkan secara terminologis telah mengalami pergeseran makna. Pada
abad ke 19 dan 20 tarekat merupakan suatu metode moral psikologi untuk
membimbing individu dalam mempraktekkan panggilan mistiknya. Tarekat juga
berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqa>mat) dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah.[2]
Bila dicermati tarekat merupakan jalan atau metode yang
ditempuh para sufi dalam melakukan ibadah, dhikir dan doa. Cara ibadah, dhikir dan doa itu diajarkan seorang guru
sufi kepada muridnya dengan penuh disiplin. Dari hubungan antara guru dan murid
inilah berkembang kekerabatan sufi. Kekerabatan tersebut, biasanya mengambil
tempat di suatu pondok yang disebut zawiyyah atau khanqah, yakni tempat
para sufi menghabiskan waktu dan hari-harinya untuk beribadah, berdhikir dan
berdoa yang bertujuan untuk membersihkan batin dalam menapaki maqam-maqam kerohanian menuju maqam tertinggi yaitu maqam baqa’
fi Allah.[3]
Dengan demikian, suatu gerakan tarekat dapat berkembang dan tersebar ke
penjuru dunia. Para pengikut yang ada pasti berusaha dan menyebarluaskan ajaran
yang dibawa tarekatnya.
Berdasarkan ajaran yang diturunkan
al-Sha>dhili
kepada para muridnya, kemudian
terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu Ta>rekat
al-Sha>dhiliyyah.
Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tu>ni>sia,
Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan
Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Tarekat al-Sha>dhiliyyah
memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidu>n, yakni Hafsiyyah di Tu>ni>sia.
Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Timur (Mesir) di bawah
kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh
Victor Danner peneliti tarekat al-Sha>dhiliyyah adalah bahwa meskipun
tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tu>ni>sia). Dengan demikian, peran
daerah Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner,
perannya sejak abad ke 7 H/13 M sangatlah jelas.[4]
Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam
yang luar biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen
pada abad ke 9 H / 15 M yang mengakhiri kejayaan Islam disana, Afrika Utara
tetap menjadi benteng pertahanan spiritualitas sufi, khususnya di daerah Timur
(Mesir) sudah mulai mengalami kemerosotan berkepanjangan. Semakin melemahnya
kekaisaran Usma>niyah dan Safawiyah juga sekaligus merupakan tanda
kemunduran spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pergerakan tarekat
Sha>dhiliyyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan
kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab.[5]
Ini berarti ta>rekat
Sha>dhiliyyah memainkan peranan penting di
tengah kemunduran umat Islam.
Di Maghribi (Maroko), al-Sha>zili sangat terkenal dan banyak sekali
pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas kehebatan
al-Sha>dhili. Bahkan ada pula yang berani
melontarkan bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti
beliau, melarang orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Bahkan beliau
bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri Maghribi, karena itu Abu> al-Hasan pindah ke Mesir.[6]
Pada tahun 624 H ia pindah ke Mesir
bersama para muridnya dan disinilah terbentuk institusi tarekat bernama al-Sha>dhiliyyah. Diantara muridnya yang ikut
pindah dari Tu>ni>sia ke Mesir ialah Shekh Abu> Abba>s al-Mursi> (w. 686 H) dan
Shekh Ibnu At}a’illah.
Maka kedua muridnya inilah yang kemudian mengembangkan ta>rekat al-Sha>dhiliyyah. [7]
Tarekat ini pada
umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tu>ni>sia dan
Alexandria), tetapi kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan.
Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H / 16 M, seperti
Ali> al-S>}anha>ji> dan muridnya Abd al-Rahma>n al-Majzu>b
adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dulu ta>rekat ini juga telah
diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama’ terkenal abad ke 9 H
/ 15 M yaitu Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
Imam Sha>dhili meninggal pada
tahun 656 H / 1258 M dimakamkan di Humaithra, sebuah daerah dekat Laut Merah.
Beliau meninggal ketika sedang dalam perjalanan pulang dari ibadah haji.[8]
C. Tokoh-Tokoh Ajaran Tarekat Sha>dhiliyyah
Tarekat Sha>dhiliyyah tak dapat
dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu> Hasan al-Sha>dhili. Secara lengkap nama pendirinya Ali> bin Abdulla>h bin Abd al-Jabba>r Abu> Hasan al-Sha>dhili (w. 1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan
dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali> bin Abi> T}a>lib dan Siti> Fa>t}imah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW.
Al-Sha>dhili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut
: Ali> bin Abdulla>h bin Abd al-Jabba>r bin Yu>suf bin Ward bin
Batt}al bin Ahmad bin I>sa> bin Muhammad bin Hasan bin Ali> bin Abi>
T}a>lib.[9]
Ketika masuk ke Irak,
pertama kali beliau bergaul dengan Abu> al-Fath. Setelah itu ke Maroko bertemu
dengan Abd al-Sala>m ibn Mashi>sh, gurunya, tepatnya di kota Fe>z,
yang hidup secara mengasingkan diri di Ri>f di atas Jabal Alam.[10]
Sepeninggal al-Sha>dhili, kepemimpinan ta>rekat ini diteruskan oleh Abu> al-Abba>s al-Mursi> yang ditunjuk langsung oleh al-Sha>dhili. Ia lahir di Murcia, Spanyol pada
616 H/1219 M dan meninggal pada 686 H/1287 M di Alexandria. Di kota
kelahirannya, juga lahir sufi dan ulama’ terkenal Ibn al-Arabi> dan Ibn
Sab’i>n yang terakhir ini dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi>.
Setelah dewasa, al-Mursi> dan kakaknya beserta kedua orangtuanya berangkat menunaikan
ibadah haji. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpanginya tenggelam di Teluk
Aljazair. Dalam malapetaka itu kedua orangtuanya meninggal, namun ia dan
saudaranya berhasil menyelamatkan diri.[11]
Diantara murid al-Mursi> adalah al-Bushi>ri> (w.
694 H / 1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber yang amat terkenal
dengan dua shairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yakni al-Burdah
(Shair Jubah) dan Hamziyyah yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan
Maulid Nabi. Murid yang lain adalah Shekh Najm al-Di>n al-Isfaha>ni>
(w. 721 H /1321 M), beliau berkebangsaan Persia yang lama menetap di Makkah dan
menyebarkan ajaran Sha>dhiliyyah kepada para jamaah haji. Beliau juga
merupakan guru Sha>dhiliyyah bagi al-Ya>fi’i (w. 768 H / 1367 M). Melalui al-Ya>fi’i ta>rekat Ni’matullahi yang beraliran Shi>’ah mengadakan hubungan dengan Sha>dhiliyyah. Termasuk murid al-Mursi> adalah Shekh Ibn At}a’illah (w. 709 H/
1309 M). Beliau merupakan guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah ta>rekat Sha>dhiliyyah.
Shekh Ibn Ata}’illah mewariskan sebuah katalog yang berisi
tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, yaitu Shekh Abu>
al-Abba>s al-Mursi>. Ia menulis beberapa buku yaitu al-Hikam, al-Tanwi>r
fi> Isqa>t} al-Tadbi>r, Lat}aif al-Minan, al-Qas}d al-Mujarrad fi>
Ma’rifat al-Ism al-Mufrad dan Mifta>h al-Fala>h wa Mis}ba>h
al-Arwa>h. Seluruh karyanya ini mendominasi karya-karya al-Sha>dhili>,
sebab dialah Shekh pertama yang menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran
ta>rekat Sha>dhiliyyah.[12]
Murid Sha>dhiliyyah lain yang terkenal adalah Ibn Abba>d al-Randa
yang lahir di Randa Andalusia tahun 733 H / 1333 M dan meninggal pada tanggal
17 Juni 1390 M.[13]
D.
Ajaran Tarekat Sha>dhiliyyah
Tarekat Sha>ziliyyah menekankan ajarannya pada
sifat-sifat bat}iniyyah mengenai jalan spiritual / t}a>reqat. Oleh
karena itu, para pengikutnya tidak mengenakan kain potongan yang seringkali
dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka tidak
melepaskan sama sekali kehidupan mereka sebagai pengembara, atau mengecam
kesenangan dan kemewahan hidup, atau membenci mengenakan pakaian yang bagus dan
indah. Sebab menurut Imam Sha>dhili>, pelepasan diri dari urusan duniawi tidak berarti
menghindarkan diri dari keindahan dan tidak mengutuk badan.[14]
Jadi penekanan yang dipentingkan oleh Imam Sha>dhili> adalah ma’rifat, yakni
ketajaman dan penetrasi intelektual pada realitas (alam).
Adapun pokok-pokok ajaran tarekat Sha>dhiliyyah, terangkum dalam lima hal
berikut :
1. Bertakwa kepada Allah SWT, baik di
tempat yang sunyi maupun di tempat yang
ramai.
2. Mengikuti Sunnah Nabi dalam segala
perkataan dan perbuatan.
3. Berpaling hati dari makhluk, baik
ketika berhadapan maupun ketika membelakanginya.
4. Ridha hati terhadap pemberian Allah
SWT yang sedikit ataupun yang banyak.
5. Kembali kepada Allah SWT di waktu
senang maupun di waktu susah.
Selanjutnya
dari kelima ajaran tersebut dikatakan bahwa :
1. Untuk mencapai derajat takwa, harus
ditempuh dengan jalan wara dan istiqa>mah.
2. Untuk mencapai sunnah, harus
ditempuh dengan memelihara diri dan berakhlak al-Kari>mah.
3. Untuk mencapai berpaling dari keduniaan,
harus di tempuh dengan jalan mengambil i’tibar dan bertawakkal.
4. Untuk mencapai sifat ridha kepada
Allah, harus ditempuh dengan jalan bersifat qana>’ah dan pasrah di waktu senang dan susah.
5. Untuk mencapai ruju’
(kembali) kepada Allah, harus dicapai dengan jalan memuji dan bershukur dalam
keadaan senang maupun susah.[15]
Ajaran tarekat Sha>dhiliyyah banyak dipengaruhi oleh
pemikiran sufistik al-Ghaza>li. Sehingga Ibnu At}a’illah pernah menyatakan bahwa
al-Ghaza>li sangat diagungkan oleh Shekh Abu> al-Hasan al-Sha>dhili>,
bahkan menyerukan pada para muridnya agar mengikuti dan meneladani pemikiran
sufistik al-Ghaza>li. Sampai-sampai suatu saat al-Sha>dhili> konon
menyerukan kepada para muridnya, jika mereka berhajat kepada Allah SWT tentang
suatu hal, maka sampaikanlah kepada Allah melalui perantaraan al-Ghaza>li>.[16]Ta>rekat
Sha>dhiliyyah merupakan aliran ta>rekat Sunni>.
Ajaran hizib (doa dan dhikir)
tarekat Sha>dhiliyyah
antara lain adalah hizb al-ashfa>’, hizb al-ka>fi atau al-auta>d, hizb al-bahr,
hizb al-baladiyah, hizb al-barr, hizb al-nas}r, hizb al-muba>rak,hizb
al-sala>mah, hizb al-nur dan hizb al-hujb. Hizib-hizib tersebut
tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau
ijazah dari murshi>d. Atau seorang murid yang ditunjuk oleh murshid untuk
mengijazahkannya.[17]
Tarekat Sha>dhiliyyah tersebar luas di seluruh dunia Islam. Hal ini
disebabkan karena ajaran ta>rekat tersebut sesuai dengan realita kehidupan.
Tarekat Sha>dhiliyyah juga tersebar di Andalu>sia (Spanyol). Disana, aliran tarekat
ini dipimpin oleh Ibn Abba>d al-Randa (w. 790 H). Ia penulis sharh (penjelasan)
atas kitab Al-Hika>m Al-At}a>’iyyah.[18]
E.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Sha>dhiliyyah dalam perkembangannya dimulai
dari Mesir sampai ke Andalu>sia (Spanyol). Bahkan karena kesederhanaan ajarannya,
tarekat Sha>dhiliyyah
juga banyak diterima dan berkembang luas. Termasuk akhir-akhir ini juga tidak
sedikit diikuti oleh umat Islam (sebagian) di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh ajarannya
yaitu Abu> Hasan al-Sha>dhili>, Abu> al-Abba>s al-Mursi>,
Shekh Ibn At}a>’illah dan Ibn Abba>d al-Randa. Mereka adalah tokoh
terkemuka dalam tarekat Sha>dhiliyyah.
Selanjutnya ajaran tarekat Sha>dhiliyyah juga sederhana
dan sesuai dengan realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran
tersebut dapat diterima dan banyak pengikutnya.
Walla>hu
A’lam bi al-S}awa>b.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barsany, Noer Iskandar. Tasawuf, Tarekat
dan Para Sufi. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Hafni, Abd al-Mun’im. Ensiklopedia. Mesir : Maktabah
Madbuli, 1999, cet.
II.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam
(Ringkas),
terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jkt
: Raja Grafindo Persada, 1999.
Jamil, M. Muchsin. Tarekat dan
Dinamika Sosial Politik.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.
Mulyati, Sri. Mengenal &
Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia. Jakarta Timur : Prenada Media,
2004.
ABSTRAK
Tarekat Sha>dhiliyyah merupakan tarekat yang dinisbatkan kepada nama
kampung di Tu>ni>sia yang bernama Sha>dhilah. Abu> Hasan al-Sha>dhili berasal dari desa Ghumarah di
Maroko, kemudian merantau ke desa Sha>dhilah. Setelah itu, ia pergi ke
Iskandariah (Mesir) dan menetap di sana, lalu menikah dan mendirikan
tarekat. Beliau merupakan keturunan seorang sufi besar yang bernama Abu>
Madya>n. Bahkan di kalangan sufi ada yang mengatakan derajat kewalian al-Sha>dhili
lebih tinggi daripada Shekh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang tarekat Sha>dhiliyyah yang
meliputi sejarah perkembangannya, tokoh-tokoh ajarannya dan ajaran tarekatnya.
Tarekat ini pada
umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tu>ni>sia dan
Alexandria), tetapi kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan.
Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H / 16 M, seperti
Ali> al-S>}anha>ji> dan muridnya Abd al-Rahma>n al-Majzu>b
adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dulu ta>rekat ini juga telah
diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama’ terkenal abad ke 9 H
/ 15 M yaitu Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>.
Selanjutnya ajaran tarekat Sha>dhiliyyah juga sederhana
dan sesuai dengan realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran
tersebut dapat diterima dan banyak pengikutnya.
[4] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur :
Prenada Media, 2004), 65-66.
[7] Noer
Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jkt : Raja
Grafindo Persada, 2001), 87.
[8] Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas) terjemahan Ghufron A. Mas’adi, (Jkt : Raja Grafindo Persada,
1999), 378.
[9] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur :
Prenada Media, 2004), 14.
[11] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur :
Prenada Media, 2004), 67.
[12] Ibid, 69
[14] Ibid, 548
[15] Noer
Iskandar Al-Barsany>, Tasawuf,
Tarekat dan Para Sufi, (Jkt : Raja Grafindo Persada, 2001), 88.
[17] Sri Mulyati, Mengenal
& Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jkt Timur :
Prenada Media, 2004), 81-82.