TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF
Oleh
Nurul Ulyani
A. Pendahuluan
Al-quran adalah kalam Ilahi yang diturunkan kepada
Rasullullah SAW. Sebagaimana al-quran tertulis dalam mushaf yang dapat dibaca
dan dipahami. Fakta hitoris mengungkapkan yang dapat dibaca dan dipahami. Fakta
historis mengungkapkan bahwa al-Quran turun pada masyarakat nomaden yang buta
huruf ( ummi\y ) dan diturunkan kepada seorang nabi yang juga buta huruf.
Karena al-Quran berupa wahyu yang dapat diucapkan, maka Rasullah SAW
mengajarkan al-Qur’an kepada ummatnya dengan cara verbal dari lisan ke lisan .
Para shahabat menyebarkan al-Quran dengan cara yang
sama kepada shahabat yang lain. Metode pengajaran yang verbalis akhirnya
menjadi satu – satunya metode yang dianggap sah dalam pengajaran al-Quran.
Karena para shabat tidak semua dari klan ( Kabilah) yang sama, sehingga pada akhirnya menimbulkan perbedaan
dialek bacaan al-Quran. Munculnya term “
ahruf sab’ah “ dalam kajian al-Quran
disinyalir sebagai keringanan Allah. Untuk umat islam dalam kaitannya dengan
cara membaca al-Quran. Memang para shahabat belajar al-Quran dari Rasullah,
namun perbedaan dialek membuahkan bermacam-macam versi cara membaca. Dalam keadaan
seperti ini, kemudian para shahabat berpindah dan berdomisilinya di daerah –
daerah yang berbeda-beda. Para tabi;in yang mengambil al-Quran dari mereka pun
menerimanya dengan versi bacaan masing – masing sahabat. Dengan demikian juga
tabi’ut-tabi’in, mereka belajar al-Quran dari tabi’in dalam beragram versi.
Allah Maha bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh seluruh orang arab dengan maksud untuk
mempermudah mereka dalam memahaminya. Di samping itu, untuk mempermudah bacaan,
pemahaman dan hafaan al-Qur’an kepada mereka karena al-Qur’an diturunkan dengan
bahasa mereka. Allah berfirman QS. Yusuf:02
“. Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.’
Nas-nas
sunah cukup banyak mengemukaan hadis mengenai turunnya al-Qura’an dengan tujuh
huruf, diantaranya :
1.
Ibn Abbas
Qa>la rasululla>hi s}allalla}hu
‘alaihi wasallama : ’aqra’ani> jibri>lu ‘ala h}arfin faraja‘tuhu, falam
’azal ’astazi>duni> h}attan taha ’ila sab‘ati ’ah}rufin
“ Rasulullah ber kata: jibril membacakan al-Quran kepadaku
dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf
itu di tambah, dan ia pun menambahnya kepadaku samapai dengan tujuh huruf.[1]
2.
Ubai bin Ka’ab
’anna
Nabiyya s}allalla>hu ‘alaihi wasallama ka>na ‘inda ‘ad}a>’ati bani
ghaffa>rin qa>la : fa’ata>hu jibri>lu faqa>la: innalla>ha
ya’muruka ’antuqria ummataka al-Qur’a>na ‘ala h}arfin faqa>la : ’asalulla>ha
mu‘a>fatahu wamaghfiratahu, wa’anna ummati> latut}iqu dha>lika, thumma
’ata>hu al-tha>niyata faqa>la :’innalla>ha ya’muruka’antuqria
’ummataka al-Qur’a>na ‘ala h}arfaini faqa>la :’asalulla>ha mu ‘a>fatahu
wa maghfiratahu, wa’anna umati latutiqu dhalika. Thumma ja’a al-Thalithata
faqala :’innallaha ya’muruka antuuqria ummataka al-Qur’ana ‘ala thalathati
’ahrurin, faqala:’as’alullaha mu ‘afatahu wamaghfiratahu, waanna ’ummati
latuthiqu dhalika. Thumma ja’a al-rabi ‘ata faqala :’innallaha ya’muruka’antuqri
ummataka al-Qur’ana ‘ala sab ‘ati ’ahrufin, fa’aiyuma harfin qara’u> ‘alaihi
faqad’as}a>bu>
Ketika nabi berada di dekat
parit Bani Gafar, ia didatangi jibril seraya mengatakan : Allah memerintahkanmu
agar membacakan Qur’an kepada umatmu denga satu huruf, ia menjawab : aku memohon
kepada Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan
perintah itu, kemudian jibril datang
lagi yang kedua kalinya dan berkata : Allah memerintahkanmu agar membacakan
al-Qur’an kepada ummatmu dengan dua huruf, nabi menjawab: aku memohon kepada
Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan
perintah itu, kemudian jibril datang
lagi yang ketiga kalinya dan berkata : “ Allah memerintahkanmu agar membacakan
al-Qur’an kepada ummatmu dengan tiga huruf, nabi menjawab: aku memohon kepada
Allah ampunan dan magfiroh-Nya, karena ummatku tidak dapat melaksanakan
perintah itu. kemudian jibril datang lagi yang keempat kalinya seraya berkata :
“ Allah memerintahkanmu agar membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan
tujuh huruf, dengaf mana saja mereka
membaca, mereka tetap benar.[2]
3. Umar bin Khattab,
ia berkata :
Sami’tu
hisabni h}aki>m yaqro’u su>rota al-Furqo>ni fi> h}a>ti
rosu>lilla>hi sollalla>hu ‘alaihi wa sallama fastama’tu liqiro>atihi
faidha> huwa yaqrouha> ‘ala> h}uru>fin kathi>rotin lam
yuqrikni>ha> rasu>lulla>hi s}ollalla>hu ‘alaihi wa sallama
fakidtu usa>wiruhu> fi> al-s}ola>ti fantaz}iruhu h}atta sallama, thumma
lababtuhu barida>ihi faqultu : man ’aqroaka ha>dhihi al-su>rota ?qo>la
: aqro’ani>ha> rosu>lulla>hi sollalla>hu ‘alaihi wasallama,
qultu lahu>: kadhabta fawalla>hi, rosulalla>hi sallahu ‘alaihi
wasallama aqroani> hadhihi al-su>rata al-lati> sami’tuka taqra’uha>,
fant}alaqtu aquduhu ila rasulilahi sallala>hu ‘alaihi wa sallama, faqultu :
ya>rasu>lalla>hi, inni sami’tu hadha> yaqra’u bisu>rata al-Furqo>ni.
‘ala h}uru>fin lamtuqrini>ha> ,wa’anta ‘aqrotani> su>rata
al-Furqo>ni. Faqo>la rasulla>hi sallahu ‘alaihi wa sallama : arsi>lahu
ya> ‘umaru ,iqra’au ya >hashim ,faqora> ha>dhihi al-Qira>’ata al-lati>
sami’tuhu yaqrauha> ,faqo>la rasulalla>hi sallallahu ‘alaihi wasallama
:iqrau ya’umaru ,faqoraatu al-qiraata al-lati aqrani rasulallahi sallalla>hu
‘alaihi wasallama ,faqola rasulallahi sallahu ‘alai wasallama : hakadha unzilat
,thumma faqo> la rasululla>hi salla<llahu ‘alaihi wa sallama : inni
hadha al-Qur’ana unzila ‘ala sab‘ati ’ahrufin , faqra’u matayassara minha.
”aku mendengar Hisyam bin Hakim
membaca Surah al-Furqan di masa hidup Rasullah. Aku perhatikan bacaanya.
Tiba-tiba ia membaca nyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah
kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia salat, tetapi aku
berusaha sabar menunggu sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan
bertanya : “Siapakah yang membacakan ( mengajarkan bacaan ) surah itu
kepadamu?” ia menjawab: Rasulullah yang membacakan kepadaku.’lalu aku katakan
kepadanya : dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku
surah yang aku dengar tadi engkau membacanya ( tapi tidak seperti
bacaanmu).’kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan
kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan
huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri
telah membacakan surah al-Furqan kepadaku. Maka Rasulullah berkata : wahai
Hisyam ! Hisyam pun kemudian membacakannya dengan bacaan seperti kudengar tadi.
Maka kata Rasullullah : “begitulah surah itu turun. Ia berkata lagi: “bacalah
wahai umar ! lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah
kepadaku. Maka kata Rasulullah : “begitulah surah itu diturunkan. Dan katanya
lagi : sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah
dengan huruf yang mudah bagimu diantarany.[3]
B.Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf
Secara terminology, belum ada kepastian definisi
dari Rasullah, maupun ulama. Mereka masih berbeda pandangan dalam
mendefinisikan sab’ah ahruf. Rasulullah pun dalam
haditsnya tidak memberikan makna pasti terhadap istilah ini. Ibn ‘Arabi
berpendapat bahwa tidak ditemukan nash maupun atsar yang menjelaskan makna
sab’ah ahruf, sehingga ulama berbeda pendapat dalam mendefisinikannya.[4]
Abu Hatim ibn Hibban al-Bastani
berkata,” ulama berbeda pendapat tentang hal ini menjadi 35 pendapat”.[5]
Al-ah}ruf adalah bentuk jamak dari lafal h}arf. Lafal h}arf ini
mempunyai makna yang banyak.
Salah seorang pengarang kamus mengatakan, h}arf dari segala sesuatu berarti ‘ ujung atau tepinya”, sedangkan h}arf gunung
berarti “puncaknya”. Pengertian h}arf ialah salah satu bentuk huruf hijaiyah.[6]
Ah}ruf menurut Ibn Faris, huruf ha’ ra’ dan fa’ adalah tiga pokok yang berarti
batasan sesuatu, keseimbangan dan takaran sesuatu.[7]
Sedangkan menurut terminologi, sab’ah
adalah nama bilangan antara enam dan delapan yang dalam bahasa Indonesia
berarti tujuh.[8]
Para
ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah tujuh huruf ini dengan perbedaan yang
bermacam-macam. Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Terdapat lima pendapat
para ulama dalam hal ini yaitu :[9].
1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur'an pun diturunkan
dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang
satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur'an hanya mendatangkan
satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka
berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa
ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif,
Hawazin,Kinanah,TamimdanYaman. Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur'an
diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi'ah, Haazin, dan
Sa'd bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain."[10]
2. Pendapat kedua
Suatu hukum
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab
dimmana Qur'an diturunkan, dengan pengertian
bahwa kata-kata dalam Qur'an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam
bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih di antara kalangan bangsa arab.Meskipun
sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail,
Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara
keseluruhan Qur'an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.[11]
Pendapat ini berbeda
dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam
pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah al-Qur'an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda
dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu 'Ubaid
bahwayang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa,
tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur'an. Sebagiannya bahasa Quraisy,
sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain. Dan
sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur'an."
3. Pendapat Ketiga
Sekelempok ulama
menyatakan, yang di maksud adalah bahw dalam al-Qur’an terdapat tujuh aspek
hukum/ajaran yaitu berupa : perintah, larangan, halal, haram, muhkam,
mutasyabih, amsal. Pendapat ini mengatakan bahwa yang di maksud dengan tujuh
aspek tersebut yaitu : muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, khash, am( umum
)qas}as[12].
Ibnu
Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi berkata, "Kitab
umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur'an
diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr,
halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal."
4. Pendapat Keempat
Ulama lain
diantaranya Ima>m Abu> al-Fadl al-Ra>zi> mengatakan, yang dimaksud
adalah bahwa keragaman lafaz atau kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an itu
tidak lepas dari tujuh hal berikut[13] :
a. Ikhtilaful
asma' ( perbedaan
kata benda )
Yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal), muzakkar (laki)dan
cabang-cabangnya, seperti tasniyah, (double), jamak (plural)dan ta'nis (perempuan).
Misalnya firman Allah ( al-Mukminun(23:8) )
artinya dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Pada kata öNÎgÏF»oY»tBL{( li’ama>natihim),dengan bentuk mufrad dan dibaca pula li’ama>na>
tihim dengan bentuk jamak.
Sedangkan rasamnya dalam mushaf adalah li’amanatihim, yang memungkinkan
kedua qira>t itu karena tidak ada
alif yang disukun. Tetapi kesimpulan
akhir dari kedua macam qira>t itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk
jamak dimaksud untuk arti keseluruhan yang menunjukkan jenis-jenisnya,
sedangkan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang dimenunjukkan makna
banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang
banyak jumlahnya[14].
b. Ikhtilaf fil i'rab atau
Perbedaan dalam segi I'rab,
yaitu kedudukan
atau status lafaz tertentu dalam suatu kalimat, seperti yang terdapat dalam
firman
Allah(QS. Yusuf:31):
rè
ĸöyèø9$#
ßÉfpRùQ$#
ÇÊÎÈ
“ yang mempunyai 'Arsy, lagi Maha mulia”
Lafaz al-majid (ÉfpRùQ$#) dalam ayat diatas, berkedudukan sebagai sifat (rè ) dari (ÉfpRùQ$#), tetapi bisa juga berkedudukan sebagai sifat dari
al-‘Ars ( ¸öyèø9$# ), sehingga bunyi ayat tersebut menjadi : dhu al-‘arshi
al-maji>d ( rè
ĸöyèø9$#
ßÉfpRùQ$#
).
c. keragaman yang
berkenaan dengan bentuk fi’il tyaitu bentuk madi, mudari, dan bentuk amar.
Sebagai contoh firman Allah saba’:19
Dibaca dengan
dinasabkan lafazh ( $uZ/u ) karena menjadi munada’ dan dibaca dengan ( dalam ayat
diatas, bisa dibaca ( Ïè»t/ ) . sebagai amar.
d. Mendahulukan
(taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir). atau lebih dikenal dengan
taqdim dan takhir
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقContoh (Surah Qaf: 19) dibaca dengan
didahulukan ‘al-haq’
dan
diakhirkan ‘al-maut’, وَجَاءَتْ سَكْرَةُالْحَق بِالْمَوْتِ . Tapi Qiraat ini dianggap lemah.
e. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi. Contoh ayat 3, Surah al-Lail,
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى Ada qiraat yang membuang lafaz ‘ma kholaqo’
f. Perbezaan lahjah seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wad}d}uha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah , yaitu dengan bunyi ‘wad}d}uhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).
g. Keragaman dalam bentuk ’ibdal yaitu penggati suatu huruf atau lafat lain yang ma ‘nanya sama.
e. Perbedaan dalam menambah dan mengurangi. Contoh ayat 3, Surah al-Lail,
وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى Ada qiraat yang membuang lafaz ‘ma kholaqo’
f. Perbezaan lahjah seperti dalam masalah imalah, tarqiq, tafkhim, izhar, idgham dan sebagainya. Perkataan ‘wad}d}uha’ dibaca dengan fathah dan ada yang membaca dengan imalah , yaitu dengan bunyi ‘wad}d}uhe’ (sebutan antara fathah dan kasrah).
g. Keragaman dalam bentuk ’ibdal yaitu penggati suatu huruf atau lafat lain yang ma ‘nanya sama.
5.PendapatKelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak
diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan),
tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan
orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan
Qur'an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang
telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
Sebab lafaz sab'ah
(tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam
bilangan satuan, seperti kata tujuh puluh' dalam bilangan bilangan puluhan, dan
'tujuh ratus' dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk
menunjukkan bilangan tertentu.
6.PendapatKeenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
C. Hikmah diturunkan Al-Quran dengan
tujuh huruf
1.
Mempermudah
umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Quran,
sedangkan mereka memilki beberapa dialek (lahjah) meskipun mereka bisa
disatukan oleh sifat kearabannya. Hikmah ini diambil dengan alas an sabda
Rasulullah SAW, “Agar mempermudah umatku”.
Dan sesungguhnya umatku tidak mampu
melaksanakannya “
Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazari berkata, “ Adapun sebabnya
al-Quran didatangkan dengan tujuh huruf, adalah memberikan keringanan kepada
umat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat dan
spesialisasi yang diberikan kepada umat utama di samping untuk memenuhi tujuan
nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah telah memerintahkan
umatnya untuk membaca Al-Quran dengan satu huruf “[15].
Kemudian Nabi SAW menjawab, “ Aku meminta ampunan dan magfirah kepada Alloh
karena umatku tidak mampu melakukannya “ Beliau terus mengulang-ulang
pernyataannya sampai dengan tujuh huruf.
Lebih lanjut lagi, Imam Jazari mengatakan, Seperti telah
ditegaskan bahwa Al Quran diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf,
sedangkan kitab-kitab sebelumnya diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf.
Hal ini karena Nabi-nabi terdahulu diutus untuk semua makhluk, kulit hitam atau
kulit merah dan bagi orang berbangsa Arab atau orang berbangsa Ajam.[16]
Bahkan, orang-orang Arab sendiri, walaupun al Quran diturunkan dengan
bahasanya, memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Karena itu, sulit bagi
mereka meskipun telah belajar dan berusaha dengan keras, untuk membaca Al Quran
dengan satu huruf. Siapa yang tidak pernah membaca kitab seperti keterangan
Rasul di atas, meskipun mereka pun dipaksa untuk berpindah dari bahasa dan
dialeknya, tidak akan melakukannya.
2. Menyatukan umat Islam
dalam satu bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan di
kalangan suku – suku bangsa Arab yang berkunjung ke Mekah pada musim haji dan
lainnya. Oleh karena itulah, Al Quran
diturunkan dalam tujuh huruf yang terpilih dari bahasa Kabilah – kabilah arab
yang mewakili bangsa orang-orang Quraisy. Ini merupakan hikmah Ilahi yang luhur
karena menyatukan bahasa nasional merupakan factor dalam menyatukan bangssa,
khususnya pada masa pertama kalinya bangsa itu berkembang.
3. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab
yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah)
meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
4.
Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa
Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
5.
Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan
penggalian hokum. Karena berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan
menghasilkan produk hukum yang dapat berlaku dalam setiap masa
D. Kesimpulan
Bahwa pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah
pendapat pertama (A), yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa – bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang
sama. Misalnya aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang
berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk
menghadap. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Wahb dan lainnya.
Pendapat kedua (B) yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa –
bahasa Arab dimana Qur’an diturunkan,
dengan pengertian bahwa kalimat – kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar
dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur’an telah mencakupnya –
dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping
itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim, keduanya adalah orang Quraisy yang
mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan)
kedua orang itu berbeda dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun
ternyata Umar mengingkarinya). Semua
itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka
kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz – lafaz mengenai makna yang sama.
Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan.
Pendapat keempat (C) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf. Dijawab, bahwa
pendapat ini meskipun telah populer dan telah diterima, tetapi ia tidak dapat
tegak di hadapan bukti-bukti dan
argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan
dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama.
Pendapat kelima (D) yang menyatakan
bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas
hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas; seperti “ Jibril
membacakan Al Quran kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesaknya agar huruf itu
ditambah dan ia pun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf
Pendapat ketiga (E) yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal (makna), yaitu :
amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal – dijawab, bahwa nazir
hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca
dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal
sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam satu ayat,
dan keleluasan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal,
penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Pendapat keenam (F yang menyatakan
maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab, bahwa Qur’an itu
bukanlah qiraat
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Bukhari, S}ah}ih} al-Bukhari, (
Beirut : Idar al-Thiba’at al-Muniriyat )
|
Al- Imam Muslim, S}ah}ih Muslim, ( Mesir : dar al- Syib)
juz ke-2
|
Az-Zarkasyi, al- Burhan fi Ulum al-Qura’an, ( Maktabah
dar At- Turats, kairo, jilid I),
|
Muhammad ‘ali> al-S}a>bu>ni>, Tibyan
f>i ‘ulumil al-Qur’an, (Damaskus 1991)
|
Ahmad warson munawir, al-Munawir, (Yogyakarta 1984),
|
Faizin, Kontroversial Ulumul Qur’an, (Kediri, Azhar
Risalah, 2011),
|
al-Sayid Rizaq al-T}awil ,Fi> ‘Ulu>m al-Qira>at, (
Mekkah : al-Maktabat al-Fayshaliyat, 1985
|
Manna>’a al-Qat}t}an, Mabahis
fi> ’ulu>mi al-Qur’an, ( mansyurat al- Asr al-Hadits 1973
|
Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia Bandung
1998),
|
[4]
Az-Zarkasyi, al- Burhan fi Ulum
al-Qura’an, ( Maktabah dar At- Turats, kairo, jilid I), hal 212
[5]
Ibid, hal 212
[6]
Ahmad warson munawir, al-Munawir,
(Yogyakarta 1984), hal 274
[7]
Faizin, Kontroversial Ulumul Qur’an, (Kediri, Azhar Risalah, 2011), hal
114
[8]
Ibid, hal 114
[9]
Manna>’a al-Qat}t}an, Mabahis fi> ’ulu>mi
al-Qur’an, ( mansyurat al- Asr al-Hadits 1973),hlm 158-161.lihat pula :
Muhammad Ali al-Shabuni,op-cit,hal 214-216.juga ahmad ‘Adil Kamal,op.cit,hal
84-88. Sumber lain menyebutkan tujuh pendapat ( lihat :al-Sayid Rizq al-Thawil,
Fi ‘ulumi al-Qira’at,(Mekah : al-Maktabat al-Fasyhaliyat, 1985 ),cet
ke-1 hlm 136 -143.
[12] Aminudin,
Studi Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia,Bandung 1998), hlm 363
[13]Rizaq
al-T}awil ,Fi> ‘Ulu>m al-Qira>at, ( Mekkah : al-Maktabat
al-Fayshaliyat, 1985)cet I hlm 136
[15]
Aminuddin, Studi
Ilmu al-Qur’an, ( Pustaka Setia Bandung 1998),hal 360
[16]
Ibid, hal 360