ARTIKEL
INKAR SUNNAH DI ZAMAN MODERN
Oleh :
Nurul Ulyani, S.Ag
I. Pendahuluan.
Wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu
menarik untuk dihicarakan. Banyak ulama
dan cendekiawan muslim yang memberikan pandangan
atau pendapat mengenai reaksi pemahaman tentang Islam, reaksi yang muncul beraneka ragam ada yang pro dan dan ada
pula yang kontra, terutama yang berhubungan
dengan sumber hukum kedua atau al-sunnah dan Islam.
Maka tema yang diangkat dalam makalah ini adalah Inkar al-Sunnah dizaman Moderen.
Dalam beberapa dekade umat Islam terlena dalam
kejumudan dan tidak dinamis, al-sunnah
tidak berkembang sama sekali. Bara pada masa Khalifah
Umar bin Abdul Azis al-sunnah ditulis dengan baik dan ditelusuri keabsahannya akhirnya pintu ijtihad terbuka kembali
sehingga melahirkan ulama-ulama dalam ilmu
hadis atau al-sunnah, kehadiran mereka membuka cakrawala
baru di dunia Islam antara lain Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain. Sebagai bukti begitu gencarnya
para intelektual ilmu hadis menganalisa secara
kreatif dan berwawasan objektif dalam menilai validitas
dan otentitas baik dalam aspek mata rantai transmisinya maupun aspek teks atau substansi hadis itu sendiri. Usaha ini
telah membuahkan hasil yang sangat optimal dengan
munculnya enam kitab hadis yang terkenal yaitu al-Kutub
al-Sittah.
Betapapun telah optimalnya usaha ini dengan
kesuksesan yang dicapai dapat dibuktikan dengan
sikap apresiatif terhadap karya ini, masih belum efektif
dalam menegaskan sikap pro-kontra dari berbagai pendapat dan golongan. Hal ini dtandai dengan munculnya kritik dan
pandangan yang menolak eksistensi dan
substansi al-sunnah baik secara absolut maupun dalam bentuk pengingkaran sebagian hadis atau al-sunnah.
Kelompok ini yang akhirnya mengkristal
menjadi golongan Inkar al-,Sunnah. “Dikalangan ahli Islam di Barat dan segelintir kalangan sarjana muslim
yarig terpelajar tidak mengakui dan menolak hadis
tersebut sebagai suatu kerangka, bukan saja keteladanan
Nabi melainkan juga sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan keagamaan para sahabat”.[1] Dari
sinilah penulis mencoba mengangkat tulisan ini
dalam bentuk makalah dengan lebih jauh mengenali kelompok ini serta argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya, kemudian
akan dilakukan analisis kontrastif dengan
berbagi pandangan dan argumentasi kelompok yang mengklaim
diri sebagai pembela al-sunnah.
II. Pengertian Ingkar al-Sunnah dan Sejarah Munculnya.
Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi,
dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul
dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak
hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua[2].
Orang-orang yang menolak keberadaan
sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya
sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah atau
dalam istilah yang kurang populer disebut
juga sebagai munkir al-sunnah[3].
Dikatakan sebagai kelompok Inkar Al-Sunnah dan
tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits,
karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari
pada kata hadits. Mengingkari sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu
juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan
dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke generasi berikutnya.
Kalau ditilik dari perspektif historisnya, golongan
ini tidak diketahui secara pasti kapan awal
munculnya baik dalam bentuk OTB (Organisasi Tanpa
Bentuk) sebagai gerakan bawah tanah, maupun sebagai kelompok yang terorganisir secara rapi yang keberadaan dan
identitasnya dapat dikenali. Menurut Imam Syafi’i4[4],
diperkirakan gerakan ini muncul pertama kali pada akhir
abad II H atau awal abad III H. Lebih lanjut dikatakan
mereka secara keseluruhan terpolarisasi kedalam
tiga kelompok,5[5] yaitu:
a. Kelompok yang menolak
sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun da’if sekalipun.
b. Kelompok yang menolak
sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak
sesuai dengan al-Qur’an secara tekstual. Kelompok ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam
menciptakan hokum yang baru.
c. Kelompok yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawir.
Sejak Imam Syafi’i, mereka yang menolak sunnah
(berpaham ingkar al-Sunnah), baik secara
absolute maupun penolakan terhadap sebagiannya, telah
menjadi momok bagi dunia Islam,[6] tidak
terkecuali di Indonesia seperti kasus Ircham Sutarto.[7] Namun
menurut kami pengingkaran terhadap hadits yang
tidak bernilai mutawir jelas tidak tepat dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah. Untuk itu dalam pembahasan ini
kami menyebut kelompok Inkar Al-Sunnah
hanya terhadap mereka yang menolak eksistensi dan
substansi sunnah secara absolut.
Menurut M. ‘Azami, setelah kemunculan perdananya
diakhir abad II atau awal abad III (pada
masa Imam Syafi’i), gerakan ini menjadi mandek dan tidak diketahui lagi jejaknya sampai sebelas abad
lamanya. Baru pada abad XIV H atau peralihan abad
XIX H ke abad XX H gerakan ini muncul kembali[8].
Untuk itu para analis dari muhaddisin, membagi periode Inkar Al- Sunnah menjadi dua bagian, pertama kelompok tempo dulu
(klasik) yang hidup pada masa Imam
Syafi’i, kedua kelompok modern yang hidup di abad peralihan[9].
III. Argumentasi Kelompok
Inkar Al-Sunnah.
Sebuah statemen yang muncul tak ubahnya seperti
bangunan, untuk dapa berdiri kokoh harus
didukung oleh beberapa komponen sebagai pilar poenyangga
dan penopangnya. Demikian pula dengan kelompok Inkar al- Sunnah telah mengajukan berbagai argumentasi yang
dikedepankan sebagai upaya memberikan
justifikasi terhadap statemen yang mereka lendingkan.
Dilihat
dari argumentasi yang mereka ajukan dapatb dibedakan menjadi dua, yaitu argumentasi dalam bentuk nas secara tekstual
(naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal
(‘aql).
1. Argumentasi berdasarkan nas secara tekstual
a. Sesuatu yang akan menjadi landasan agama haras bernilai pasti. Dan yang secara jelas terbukti kepastiannya dalam segala
segi hanya al-Qur’an, sementara sunnah masih bernilai zanni. Berdasarkan
fiman Allah SWT Al-Baqarah (2): 2.
b. Pendapat lain mengatakan, secara kwantitas hadits Mutawir sangat minim sekali jika dibandingkan dengan hadits yang
secara kwalitas bernilai ahad, sementara
yang ahad itu bersifat zann. Agama tidak bisa
dilandaskan pada konspirasi antara al-Qur’an dengan hadits yang bernilai zann, karena gabungan antara yang pasti
dengan zann akan melahirkan bentuk
zann juga. Dasarnya firman Allah SWT Al-Isra’
(17): 36;
c. Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan karena al-Qur’an merupakan penjelasan bagi segala hal. Dalam
statemennya disebutkan, al-Qur’an
diturankan secara rinci. Implikasinya semua ayat
yang telah diturunkan sudah jelas dan tidak memerlukan
penjelasan lagi. Berdasarkan Firman Allah SWT Al-An’am (6) : 114;
d. Konsekwensi dari pandangan diatas, bagi mereka yang tetap berpendapat perlunya penjelasan bagi al-Qur’an,
berarti secara tegas telah mendustakan
eksistensi dan substansi al-Qur’an sebagai penjelas
bagi segala hal secara tuntas tanpa ada yang luput dan teralfakan didalamnya. Berdasarkan Firman Allah SWT Al-An’am (6) : 38;
e. Hanya al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadi sumber hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin
kelestarian, keutuhan dan
keorisinilannya sampai hari Kiamat. Sesuai dengan Firman
Allah SWT Al-Hijr (15) : 9;
..
Argumentasi ini dipegang Rasyid Rida dan Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan para pengingkar sunnah dari Pakistan[10].
Sedangkan kelompok lain berpendapat,
hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu,
karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk memelihara kelestarian
dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti.
Masih banyak lagi argumen-argumen lain yang
dijadikan hujjah dan pegangan untuk
meligtimasi dan menjustifikasi pandangannya. Dalam
perjalanannya kelompok ini telah menemui rintangan dan kritikan baik yang bernada keras maupun ringan, terutama dari
kelompok yang mengklaim diri sebagai
kelompok pembela sunnah, dengan melakukan berbagai
tindakan preventif terhadap kemungkinan semakin meluasnya pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh kelompok
ini. Juga sebagai pembelaan terhadap
eksistensi dan substansi sunnah dari upaya penggerogotan
yang dilakukan oleh mereka yang menentang sunnah Nabi
sebagai sumber ajaran Islam.
2. Argumentasi berdasarkan dalil ‘aqli.
Maksud dalil ‘aqli disini, yaitu dalil yang tidak secara
langsung disandarkan pada teks-teks
al-Qur’an, akan tetapi dengan cara analisis dan
elaborasi melalui penalaran akal secara logis-obyektif, walaupun sisi-sisi argumentasi itu ada yang bersinggungan
dengan sisi tertentu dari ayat al-Qur’an maupun sunnah
Nabi. Diantara argumentasi tersebut yang patut
dikedepankan adalah;
a. Al-Qur’an ditransformasikan Allah SWT dalam bahasa Arab, yang nota bene sebagai bahasa sehari-hari komunitas
masyarakat muslim dimana al-Qur’an itu
diturunkan. Tentu bagi orang mampu memahami
bahasa Arab dari segi balaghah, uslub dan tata bahasa secara baik dan benar, dalam memahami al-Qur’an tidak memerlukan perantara termasuk dari hadits atau sunnah
dalam menangkap pesan-pesan
moral al-Qur’an dengan pemaknaan yang benar
dan lebih komprehensif[11].
b. Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam
memahami realitas agama yang
menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam
peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan
hadits sebagai literatur mereka.
Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang
merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya
umat Islam[12].
c. Modifikasi kitab-kitab hadits bar muncul sekitar 40 sampai 50 tahun setelah Nabi wafat. Sehingga sangat rentan akan
terkontaminasi dengan pendapat rawinya,
baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan.
Sehingga otentisitas dan validitasnya tidak bisa dibuktikan.
Hal ini juga didukung realita dan fakta, sangat tingginya persentase hadits dari segi teks (matan) yang
termuat dalam al-kutub al-sittah yang concent-nya
sangat bertentangan dengan pesan-pesan al-Qur’an
dan logika formal[13].
d. Taufiq Sidqi menambahkan, tidak satupun hadits yang dicatat pada masa Nabi. Dalam rentang waktu tersebut hadits sangat
rentan terhadap upaya
memutarbalikkan fakta, dengan cara mempermainkan
dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi[14].
e. Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti kritik sanad, masih belum
representatif dan masih lemah dalam
menentukan kesahihan (realibility) sebuah hadits,
karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam
Sehingga mata rantai
pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui
dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai
perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan
konsep ta’dil alsahabah, sehingga mereka
dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari
kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits[16]. Inilah argumentasi-argumentasi dan dasar statemen
mereka sebagai, upaya justifikasi
terhadap statemen yang digutirkannnya.
Terlepas dari benar dan salahnya Rita dapat
menjadikannya sebagai stimulus bagi gerakan
intelektual muslim, khususnya bagi kalangan muhaddisin
dalam mencari formulasi dan argumentasi yang independen dengan berwawasan obyektif yang jauh dari kesan
apologis, apalagi sikap apriori, tetapi
dengan berlandaskan logika formal merupakan solusi
yang realistis.
IV. Pandangan Para Pembela Sunnah.
Seluruh argumentasi yang diajukan dan menjadi dasar
dari berbagai statemen yang dikedepankan
oleh kelompok Inkar Al-Sunnah dinilai lemah oleh
mayoritas muslim. Untuk para intelektual dari kalangan muhaddisin melakukan counter attact terhadap statemen dan
argumentasi yang mereka ajukan tersebut.
Bantahan terhadap argumentasi yang didasarkan pada
dalil-dalil naqli adalah;
a. Pandangan yang mengatakan sunnah Nabi zann, sedangkan kita dituntut untuk menggunakan yang yakin saja yaitu al-Qur’an.
Padahal ayat al- Qur’an jika dilihat dari
perspektif asbab al-nuzul-nya memang diakui qat’i datang dari Allah SWT, namun jika dilihat dari
perspektif dalalahnya masih sangat
banyak yang bernilai zanniyat al-dalalah
b. Hadits-hadits yang berstatus ahad memang bersifat zann, namun disisi lain juga didapati ayat-ayat yang dalam pengertiannya
juga mengandung makna zann. Sehingga jika
ditilik dari perspektif pengertian dan makna,antara sebagian ayat al-Qur’an
dengan hadits ahad tidak ada perbedaan yang
signifikan[18].
c. Ayat-ayat al-Qur’an dalam menjelaskan hukum dan kewajiban tertentu sebagian masih bersifat general, yang menghendaki
penjelasan (bayan),salah satunya dengan menggunakan sunnah Nabi.
d. Kelompok Inkar al-Sunnah trekesan sepotong-potong dalam mengambil ayat al-Qur’an, sehingga sangat terlihat kekurangan
waktu untuk menelaah ayat-ayat
tersebut. Misalnya mereka hanya berdalil dengan surat
An-Nahl ayat: 8924, Padahal dalam konteks yang lain Allah juga berfirman dalam surat An-Nahl ayat: 4425, tapi tidak
mereka jadikan hujjah[19].
e. Surat
Al-An’am ayat 38, dalam pemahaman para ulama sangat berbeda dengan pemahaman kelompok Inkar al-Sunnah. Menurut
para ulama, arti kata al-kitab dalam ayat
tersebut adalah “segala sesuatu tidak ada yang dialfakan Allah SWT, semuanya telah termuat di lauh
al-mahfuz”
Inilah pandangan sekaligus jawaban para pembela
sunnah dalam membantah argumentasi yang
diajukan dalam bentuk dalil naqli.Adapun pandangan terhadap argumentasi yang
berdasarkan logika adalah;
a. Orang yang memahami bahasa Arab secara baik dari segi tata bahasa demikian juga uslubnya yang dapat dikatakan sebagai
pakar bahasa sekalipun tidak akan mampu
memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Karena
kata-katanya masih banyak yang bervariasi, ada yang global ada pula yang masih mubham dan lain sebagainya ang dalam
pemaknaan sangat membutuhkan
intrvensi dari sunnah Nabi[20].
b. Realitas sejarah kemunduran umat Islam memang suatu kenyataan dan perpecahan menjadi salah satu penyebabnya, namun tidak
tepat kalau menjadikan sunnah sebagai
kambing hitamnya. Karena realitas historis juga
telah membuktikan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosio-kultural termotivasi oleh
hadits nabi disamping al-Qur’an. Ini sebagai
bukti kelompok Inkar Al-Qur’an;-sunnah tidak memiliki
pengetahuan yang mumpuni dalam historiografi Islam dan Ilmu Hadits[21].
c. Dalam berbagai literatur dan dokumen historis telah ditemukan perhatian sahabat yang besar terhadap hadits, seperti Ibnu Abbas
(w. 69 H) demikian juga Ibnu ‘Amr
Ibnu ‘As (w. 65 H), merupakan diantara sahabat
yang sangat commited terhadap hadis dan sangat rajin membukukannya dari Nabi. Demikian juga sahabat lain
seperti khalifah yang empat29[22].
d. Pandangan Taufiq Sidiq sangat lemah dilihat dari perspektif historiografi, karena dalam beberapa hal dan keadaan
cukup banyak para sahabat yang mempunyai
koleksi hadits nabi walaupun masih dalam bentuk
private collection (koleksi pribadi). Perjanjian Hudaibiyah,Piagam Madinah dan
beberapa surat Nabi yang dikirim kepada para Raja
merupakan bukti konkritnya[23].
e. Kritik sanad dengan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil merupakan media dalam melakukan kritik obyektif terhadap kwalitas pribadi
dan khazanah intelektual para
transmitter (rawi), serta metode yang mereka terapkan dala mentransmisikan hadits tersebut, yang terhimpun
dalam bab tahammul wa ‘ada al-hadits[24].
Sunnah telah melahirkan sikap pro-kontra tentang
keorisinilannya yang diakui datangnya dari
nabi yang diproyeksikan kebelakang sejak abad ke II H.
Polemik ini menimbulkan implikasi lebih jauh, yaitu disatu sisi terdapat komunitas masyarakat muslim yang tetap
berpegang dan mengakui validitas dan otentisitas
hadits sebagai sumber ajaran Islam. Di sisi lain terdapat
golongan yang bersikap skeptis dan apriori dengan tetap menolak eksisitensi dan substansi sunnah. Kelompok inilah yang
akhirnya
mengkristal menjadi golongan Inkar Al-Sunnah.
Dari berbagai pendapat yang diajukan kelompok Inkar
Al-Sunnah, belum menunjukkan sebuah statemen yang mendasar, karena disebabkan beberapa faktor:
1. Penolakan mereka terhadap sunnah lebih menunjukkan sikap skeptis dan apriori, yang tidak didukung serta didasarkan pada
studi ilmiah obyektif tentang perkembangan
disiplin Ilmu Hadits.
2. Basis dan kapasitas keilmuan mereka yang belum mumpuni dan mendalam terhadap studi yang berkaitan dengan hadits
seperti bahasa Arab, histori Islam,
sejarah pentransmisian dan pembinaan hadits, lengkap
dengan aksesoris yang terdapat didalamnya, seperti kaidahkaidah, istilah-istilah tertentu dalam ilmu hadits, demikian
juga dengan metodologi analisis
hadits.
3. Sebagian mereka terkesan memaksakan diri untuk hanya memegang al-Qur’an
sebagai sumber ajaran Islam dan dengan statemen yang hanya didasarkan pada penggunaan rasionalitas formal.
Disamping itu mereka juga enggan untuk
melibatkan diri dalam pengelaborasian Ilmu Hadits dengan
metodologi serta pisau analisisnya, yang pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri.
4. Rasa apatis dan anti pati terhadap para sahabat nabi dan orang yang berupaya melakukan pengumpulan dan modifikasi hadits
yang diekspresikan melalui
sikap skeptis terhadap karya para ulama tersebut.
5. Para pengingkar sunnah tidak memahami realitas hukum Islam, yang memandang sunnah sebagai sumber yang imperatif guna
memperoleh formulasi yang utuh dan
komprehensif dalam mengistinbatkan hukum.Terutama terhadap persoalan yang
secara tekstual tidak termaktub dalam al-Qur’an.
Terlepas dari semua itu, persoalan signifikan yang
melatarbelakangi munculnya Inkar al-Sunnah
adalah karena timbulnya keraguan mereka terhadap
validitas dan otentisitas sunnah yang diproyeksikan kebelakang dari abad kedua Islam. Kondisi ini diperburuk lagi
dengan langkanya sumber-sumber obyektif
yang independen dan bebas nilai memverifikasi berbagai fakta
realitas-realitas historis.
V. Potret Sebah Gerakan Inkar Al-Sunnah di Indonesia.
Dalam beberapa literatur kita temukan,
kelompok-kelompok dalam Islam baik secara
terang-terangan maupun sembunyi dikategorikan sebagai kelompok Inkar al-Sunnah. Misalnya golongan khawarij
yang menolak hadits yang di riwayatkan oleh
aktor intelektual dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa arbitrase. Dmikian juga halnya dengan
kelompok mu’tazilah hanya mengingkari sunnah yang
tidak memenuhi derajat mutawatir saja.
Sebagian syi’ah
juga telah mengingkari sebagian sunnah yang tidak di riwayatkan melalui golongan ahl al-bait[25]
demikian juga M. Abduh, Taufiq Sidqi, dan
Risyid Rida yang disinyalir juga penganut paham inkar al-Sunnah[26].
Sementara di anak benua India muncul
kelompok yang mengklaim diri sendiri sebagai ahl
al-Qur’an yang dikomandoi oleh Ghulam Ahmad Ponvez, yang mengingkari hadits secara keseluruhan[27].
Sementara itu untuk Indonesia juga telah terlihat
paham ini yang muncul di Jakarta dan
sempat memasuki wilayah Sumatera Barat dengan nama
paham Islam Qur’an, yang dipimpin oleh Abdul Rahman, Ircham Sutarto, dan Husni Nasution. Paham ini telah di
organisir sedemikian rupa dengan taktik dan strategi
yang telah diinventarisasi dan diformulasikan secara rapi. Di antara upaya tersebut adalah;
1. Memanfaatkan media cetak, melalui buku-buku bacaan yang memuat pokok-pokok doktrin dan ajaran mereka, seperti buku
Tauhid dan logika al-Qur’an tentang manusia
dan masyarakat.
2. Melalui media elektronik dalam bentuk rekaman kaset-kaset.
3. Melalui ceramah-ceramah dan pengajian yang dilaksanakan di masjidmasjid
dan langgar atau pengajian dalam bentuk arisan secara bergantian dari rumah ke rumah.
4. Melalui tenaga pengajar, seperti da’i dan khatib, sebagai orator yang diharapkan mampu menghipnotis para audiensnya.Untuk
mendukung eksistensi kelompok ini para pembesarnya telah meletakkan sendi-sendi dan dasar doktrin mereka, di
antaranya35[28]:
1. Taat kepada Allah berarti taat kepada Rasulullah, al-Qur’an adalah
satusatunya dasar ajaran Islam. Setiap
orang yang memahami sumber lain selain al-Qur’an akan
menimbulkan kekafiran dan kemusyrikan bagi orang tersebut.
2. Tugas Rasulullah hanya menyampaikan al-Qur’an (wahyu) kepada manusia dan tidak punya otoritas untuk menerangkannya.
Dan Nabi Muhammad kapasitasnya
sebagai nabi hanya tatkala menerima wahyu itu saja, di
luar itu sebagai manusia biasa.
3. Kitab-kitab hadits karya ulama abad II H tidak bisa dijadikan dasar,
karena bersumber dari kebohongan
yang kemudian dijustifikasikan dengan cara dibaku
berasal dari nabi.
1. Kita wajib mentaati Allah dan keRasulan nabi. Sementara keRasulan nabi itu hanya ketika beliau menerima wahyu saja, sementara
diluar atau setelah itu tidak ada lagi
kewajiban mentaatinya karena kepastiannya bukan
lagi sebagai Rasul.
2. Hadits yang dibaku datang dari Nabi adalah bohong, karena antara satu hadits dengan hadits yang lainnya banyak yang saling
bertentangan, bahkan ada hadits yang
bertentangan dengan al-Qur’an.
3. Semua yang datang dari selain al-Qur’an adalah hawa termasuk
hadits.Untuk itu tidak bisa dipakai sebagai hujjah.
4. Jika al-Qur’an masih memerlukan penjelasan itu berarti sama dengan
al-Qur’an membohongi statemennya sendiri, yang telah diturunkan secara rinci.
5. Rasul
tidak punya otoritas sedikitpun dalam urusan agama, berdasarkan surat Ali Imran ayat 128 yang artinya; “tidak ada
wewenang (hak) bagi kami tentang urusan
(perintah) sedikitpun”.
Paham ini dengan berbagai doktrinnya telah
menimbulkan keresahan dalam komunitas masyarakat
muslim di Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia demi keamanan, ketenangan dan kemaslahatan komunitas
masyarakat muslim Indonesia merasa perlu
mengambil kebijakan untuk menghapus gerakan ini.
Berdasarkan keputusan jaksa agung RI nomor.
169/J.A/1983 yang ditandatangani oleh Ismail
Saleh, SH (sebagai Kejagung), telah mengeluarkan keputusan
untuk melarang penyebaran paham ini, termasuk pengedaran bukubuku, brosur-brosur dan lembaran-lembaran yang memuat
doktrin dan ajaran tersebut [30]
VI. KESIMPULAN
1. Penganut paham inkar
al-sunnah adalah orang-orang yang menolak keberadaan
sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an.
2. Kelompok inkar
al-Sunnah ini mempunyai berbagai argumentasik yang dikedepankan sebagai memberikan justifikasi terhadap
statemen yang mereka kemukakan.
Argumentasi yang mereka ajukan dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu argumentasi dalam bentuk ras secara tekstual (naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal (aql),
sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.
3. Para pembela sunnah
mengatakan seluruh argumentasi yang diajukan atau dikedepankan
oleh kelompok inkar al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas kaum muslimin. Dan para intelektual dari kalangan
muhaddisin membantah terhadap
statemen dan argumentasi-argumentasi yang mereka ajukan.
DAFTAR PUSTAKA
Fazhur Rahman, Islamic Methodology In History, Karachi, Central Institude
ofIslamic Research, 1965.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia,
Jakarta,Djambatan, 1992.
M, Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,Jakarta, Gema
Insani Press, 1992.
Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi’i, Al-Um, Beirut: Dar Al-Fikr,tt.
Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta, Media Da’wah, 1984.
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut, Maktab al-Islami, 1980.
Rifat Fauzi, Al-Madkhal Ila Tausiq al-Sunan Wa Bayan Makanatiha Fi Bina ‘al-Mujtama
‘al-Islami, Mesir, Muassasah al-Kharij, 1978.
Muhammad Abu Rayyah, ‘Adwa ‘Ala al-Sunnah Al-Muhammadiyah, Libanon,News Press, 1964.
Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, Selangor, Media Intelek, 1986.
Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’ruf Misbah, Jakarta, Granada, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami ‘li al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kurub al-Rabbai,
1347 H.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1 992.
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1989.
ABSTRAKSI
INKAR
al-Sunnah berarti mengingkari sunnah dimaksudkan untuk menunjukkan paham yang timbul dalam komunitas
masyarakat muslim yang menolak hadist
atau sunnah sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an.
Dikatakan
sebagai kelompok Inkar al-Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar al-Hadist,
karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari kata hadist. Mengingkaran sunnah tidak hanya berarti mengingkari
perkataan dan perbuatan nabi,
tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisininya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara
turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya.
[2] IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Ensiklopedi Islam Di Indonesia,
(Jakata: Djambatan, 1992) hlm.428.
Gema Insani Press, 1992) hlm. 14.
Jawabannya, (Jakarta: Media Da’wan, 1984), hlm. 7.
[6] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan
Pemalsunya,Jakarta, Gema Insani Press, 1992, hlm. 15.
[8] Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Beirut: Maktab al-Islami, 1980). Hlm. 26.
[9] Rif at Fauzi, AI-Madkhal
IlaTausiq al-Sunan Wa Bayan Makanatiha Fi Bina’ al-Mujtama’ al-Islami,
(Mesir: Muassasah al-Khariji, 1978), hlm. 189.
[10] Muhammad Abu Rayyah, ‘Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Libanon :News Press,
1964). hlm. 46-50
[14] Tahir Hakim, Sunnah
Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’aruf Misbah,(Jakarta :
Granada, tt), hlm. 14.
[15]Ilm Jarh
wa al-Ta’dil suatu ilmu dengan metode tertentu untuk menentukan cacat dan terpujinya para rawi hadis,
yang sangat signifkan dalam menentukan diterima dan ditolaknya sebuah hadis.
[17] Muhammad
Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits
al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut, Maktab al- Islami, 1980, hlm. 57.
[21] Lihat al-Qur’an surat al-Fatir: 28 dan az-Zumar: 9.
Kemudian bandingkan dengan hadis-hadis nabi yang terhimpun dalam Mansur. ‘AH Nasir, al-Taj al-Jami’ li
al-Usul fi Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1382 H), hlm.61-76.
[26] M. Abduh tidak pernah menyatakan dirinya sebagai
penganut pakar Inkar al-Sunnah,sehingga tidak cukup bukti untuk memasukkan
namanya sebagai salah seorang penganut paham tersebut.
1989), hlm. 167-179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar