Rabu, 09 Mei 2012

STUDI HADIST


ARTIKEL
INKAR SUNNAH DI ZAMAN MODERN

Oleh :
Nurul Ulyani, S.Ag

I. Pendahuluan.
Wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu menarik untuk dihicarakan. Banyak ulama dan cendekiawan muslim yang memberikan pandangan atau pendapat mengenai reaksi pemahaman tentang Islam, reaksi yang muncul beraneka ragam ada yang pro dan dan ada pula yang kontra, terutama yang berhubungan dengan sumber hukum kedua atau al-sunnah dan Islam. Maka tema yang diangkat dalam makalah ini adalah Inkar al-Sunnah dizaman Moderen.
Dalam beberapa dekade umat Islam terlena dalam kejumudan dan tidak dinamis, al-sunnah tidak berkembang sama sekali. Bara pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis al-sunnah ditulis dengan baik dan ditelusuri keabsahannya akhirnya pintu ijtihad terbuka kembali sehingga melahirkan ulama-ulama dalam ilmu hadis atau al-sunnah, kehadiran mereka membuka cakrawala baru di dunia Islam antara lain Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain. Sebagai bukti begitu gencarnya para intelektual ilmu hadis menganalisa secara kreatif dan berwawasan objektif dalam menilai validitas dan otentitas baik dalam aspek mata rantai transmisinya maupun aspek teks atau substansi hadis itu sendiri. Usaha ini telah membuahkan hasil yang sangat optimal dengan munculnya enam kitab hadis yang terkenal yaitu al-Kutub al-Sittah.
Betapapun telah optimalnya usaha ini dengan kesuksesan yang dicapai dapat dibuktikan dengan sikap apresiatif terhadap karya ini, masih belum efektif dalam menegaskan sikap pro-kontra dari berbagai pendapat dan golongan. Hal ini dtandai dengan munculnya kritik dan pandangan yang menolak eksistensi dan substansi al-sunnah baik secara absolut maupun dalam bentuk pengingkaran sebagian hadis atau al-sunnah. Kelompok ini yang akhirnya mengkristal menjadi golongan Inkar al-,Sunnah. “Dikalangan ahli Islam di Barat dan segelintir kalangan sarjana muslim yarig terpelajar tidak mengakui dan menolak hadis tersebut sebagai suatu kerangka, bukan saja keteladanan Nabi melainkan juga sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan keagamaan para sahabat”.[1] Dari sinilah penulis mencoba mengangkat tulisan ini dalam bentuk makalah dengan lebih jauh mengenali kelompok ini serta argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya, kemudian akan dilakukan analisis kontrastif dengan berbagi pandangan dan argumentasi kelompok yang mengklaim diri sebagai pembela al-sunnah.

II. Pengertian Ingkar al-Sunnah dan Sejarah Munculnya.

Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua[2]. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya
sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah atau dalam istilah yang kurang populer disebut juga sebagai munkir al-sunnah[3].
Dikatakan sebagai kelompok Inkar Al-Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits, karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari pada kata hadits. Mengingkari sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke generasi berikutnya.
Kalau ditilik dari perspektif historisnya, golongan ini tidak diketahui secara pasti kapan awal munculnya baik dalam bentuk OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) sebagai gerakan bawah tanah, maupun sebagai kelompok yang terorganisir secara rapi yang keberadaan dan identitasnya dapat dikenali. Menurut Imam Syafi’i4[4], diperkirakan gerakan ini muncul pertama kali pada akhir abad II H atau awal abad III H. Lebih lanjut dikatakan mereka secara keseluruhan terpolarisasi kedalam tiga kelompok,5[5] yaitu:
a. Kelompok yang menolak sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun da’if sekalipun.
b. Kelompok yang menolak sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak sesuai dengan al-Qur’an secara tekstual. Kelompok ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam menciptakan hokum yang baru.
c. Kelompok yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawir.
Sejak Imam Syafi’i, mereka yang menolak sunnah (berpaham ingkar al-Sunnah), baik secara absolute maupun penolakan terhadap sebagiannya, telah menjadi momok bagi dunia Islam,[6] tidak terkecuali di Indonesia seperti kasus Ircham Sutarto.[7] Namun menurut kami pengingkaran terhadap hadits yang tidak bernilai mutawir jelas tidak tepat dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah. Untuk itu dalam pembahasan ini kami menyebut kelompok Inkar Al-Sunnah hanya terhadap mereka yang menolak eksistensi dan substansi sunnah secara absolut.
Menurut M. ‘Azami, setelah kemunculan perdananya diakhir abad II atau awal abad III (pada masa Imam Syafi’i), gerakan ini menjadi mandek dan tidak diketahui lagi jejaknya sampai sebelas abad lamanya. Baru pada abad XIV H atau peralihan abad XIX H ke abad XX H gerakan ini muncul kembali[8]. Untuk itu para analis dari muhaddisin, membagi periode Inkar Al- Sunnah menjadi dua bagian, pertama kelompok tempo dulu (klasik) yang hidup pada masa Imam Syafi’i, kedua kelompok modern yang hidup di abad peralihan[9].

 III. Argumentasi Kelompok Inkar Al-Sunnah.

Sebuah statemen yang muncul tak ubahnya seperti bangunan, untuk dapa berdiri kokoh harus didukung oleh beberapa komponen sebagai pilar poenyangga dan penopangnya. Demikian pula dengan kelompok Inkar al- Sunnah telah mengajukan berbagai argumentasi yang dikedepankan sebagai upaya memberikan justifikasi terhadap statemen yang mereka lendingkan.
Dilihat dari argumentasi yang mereka ajukan dapatb dibedakan menjadi dua, yaitu argumentasi dalam bentuk nas secara tekstual (naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal (‘aql).
1. Argumentasi berdasarkan nas secara tekstual
a. Sesuatu yang akan menjadi landasan agama haras bernilai pasti. Dan yang secara jelas terbukti kepastiannya dalam segala segi hanya al-Qur’an, sementara sunnah masih bernilai zanni. Berdasarkan fiman Allah SWT Al-Baqarah (2): 2.

b. Pendapat lain mengatakan, secara kwantitas hadits Mutawir sangat minim sekali jika dibandingkan dengan hadits yang secara kwalitas bernilai ahad, sementara yang ahad itu bersifat zann. Agama tidak bisa dilandaskan pada konspirasi antara al-Qur’an dengan hadits yang bernilai zann, karena gabungan antara yang pasti dengan zann akan melahirkan bentuk zann juga. Dasarnya firman Allah SWT Al-Isra’ (17): 36;


c. Al-Qur’an tidak memerlukan penjelasan karena al-Qur’an merupakan penjelasan bagi segala hal. Dalam statemennya disebutkan, al-Qur’an diturankan secara rinci. Implikasinya semua ayat yang telah diturunkan sudah jelas dan tidak memerlukan
penjelasan lagi. Berdasarkan Firman Allah SWT  Al-An’am (6) : 114;


d. Konsekwensi dari pandangan diatas, bagi mereka yang tetap berpendapat perlunya penjelasan bagi al-Qur’an, berarti secara tegas telah mendustakan eksistensi dan substansi al-Qur’an sebagai penjelas bagi segala hal secara tuntas tanpa ada yang luput dan teralfakan didalamnya. Berdasarkan Firman Allah SWT Al-An’am (6) : 38;


e. Hanya al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadi sumber hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan dan keorisinilannya sampai hari Kiamat. Sesuai dengan Firman Allah SWT Al-Hijr (15) : 9;
..

Argumentasi ini dipegang Rasyid Rida dan Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan para pengingkar sunnah dari Pakistan[10]. Sedangkan kelompok lain berpendapat, hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu, karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti.
Masih banyak lagi argumen-argumen lain yang dijadikan hujjah dan pegangan untuk meligtimasi dan menjustifikasi pandangannya. Dalam perjalanannya kelompok ini telah menemui rintangan dan kritikan baik yang bernada keras maupun ringan, terutama dari kelompok yang mengklaim diri sebagai kelompok pembela sunnah, dengan melakukan berbagai tindakan preventif terhadap kemungkinan semakin meluasnya pengaruh dan akibat yang ditimbulkan oleh kelompok ini. Juga sebagai pembelaan terhadap eksistensi dan substansi sunnah dari upaya penggerogotan yang dilakukan oleh mereka yang menentang sunnah Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
2. Argumentasi berdasarkan dalil ‘aqli.
Maksud dalil ‘aqli disini, yaitu dalil yang tidak secara langsung disandarkan pada teks-teks al-Qur’an, akan tetapi dengan cara analisis dan elaborasi melalui penalaran akal secara logis-obyektif, walaupun sisi-sisi argumentasi itu ada yang bersinggungan dengan sisi tertentu dari ayat al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Diantara argumentasi tersebut yang patut dikedepankan adalah;
a. Al-Qur’an ditransformasikan Allah SWT dalam bahasa Arab, yang nota bene sebagai bahasa sehari-hari komunitas masyarakat muslim dimana al-Qur’an itu diturunkan. Tentu bagi orang mampu memahami bahasa Arab dari segi balaghah, uslub dan tata bahasa secara baik dan benar, dalam memahami al-Qur’an tidak memerlukan perantara termasuk dari hadits atau sunnah dalam menangkap pesan-pesan moral al-Qur’an dengan pemaknaan yang benar dan lebih komprehensif[11].
b. Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam memahami realitas agama yang menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan hadits sebagai literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam[12].
c. Modifikasi kitab-kitab hadits bar muncul sekitar 40 sampai 50 tahun setelah Nabi wafat. Sehingga sangat rentan akan terkontaminasi dengan pendapat rawinya, baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan. Sehingga otentisitas dan validitasnya tidak bisa dibuktikan. Hal ini juga didukung realita dan fakta, sangat tingginya persentase hadits dari segi teks (matan) yang termuat dalam al-kutub al-sittah yang concent-nya sangat bertentangan dengan pesan-pesan al-Qur’an dan logika formal[13].
d. Taufiq Sidqi menambahkan, tidak satupun hadits yang dicatat pada masa Nabi. Dalam rentang waktu tersebut hadits sangat rentan terhadap upaya memutarbalikkan fakta, dengan cara mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi[14].
e. Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti kritik sanad, masih belum representatif dan masih lemah dalam menentukan kesahihan (realibility) sebuah hadits, karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam
‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil,[15] baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat.
           Sehingga mata rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep ta’dil alsahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits[16]. Inilah argumentasi-argumentasi dan dasar statemen mereka sebagai, upaya justifikasi terhadap statemen yang digutirkannnya.
Terlepas dari benar dan salahnya Rita dapat menjadikannya sebagai stimulus bagi gerakan intelektual muslim, khususnya bagi kalangan muhaddisin dalam mencari formulasi dan argumentasi yang independen dengan berwawasan obyektif yang jauh dari kesan apologis, apalagi sikap apriori, tetapi dengan berlandaskan logika formal merupakan solusi yang realistis.

IV. Pandangan Para Pembela Sunnah.
Seluruh argumentasi yang diajukan dan menjadi dasar dari berbagai statemen yang dikedepankan oleh kelompok Inkar Al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas muslim. Untuk para intelektual dari kalangan muhaddisin melakukan counter attact terhadap statemen dan argumentasi yang mereka ajukan tersebut.
Bantahan terhadap argumentasi yang didasarkan pada dalil-dalil naqli adalah;
a. Pandangan yang mengatakan sunnah Nabi zann, sedangkan kita dituntut untuk menggunakan yang yakin saja yaitu al-Qur’an. Padahal ayat al- Qur’an jika dilihat dari perspektif asbab al-nuzul-nya memang diakui qat’i datang dari Allah SWT, namun jika dilihat dari perspektif dalalahnya masih sangat banyak yang bernilai zanniyat al-dalalah
dengan pengertian yang zann juga dan belum memberikan kepastian hukum[17].
b. Hadits-hadits yang berstatus ahad memang bersifat zann, namun disisi lain juga didapati ayat-ayat yang dalam pengertiannya juga mengandung makna zann. Sehingga jika ditilik dari perspektif pengertian dan makna,antara sebagian ayat al-Qur’an dengan hadits ahad tidak ada perbedaan yang signifikan[18].
c. Ayat-ayat al-Qur’an dalam menjelaskan hukum dan kewajiban tertentu sebagian masih bersifat general, yang menghendaki penjelasan (bayan),salah satunya dengan menggunakan sunnah Nabi.
d. Kelompok Inkar al-Sunnah trekesan sepotong-potong dalam mengambil ayat al-Qur’an, sehingga sangat terlihat kekurangan waktu untuk menelaah ayat-ayat tersebut. Misalnya mereka hanya berdalil dengan surat An-Nahl ayat: 8924, Padahal dalam konteks yang lain Allah juga berfirman dalam surat An-Nahl ayat: 4425, tapi tidak mereka jadikan hujjah[19].
e. Surat Al-An’am ayat 38, dalam pemahaman para ulama sangat berbeda dengan pemahaman kelompok Inkar al-Sunnah. Menurut para ulama, arti kata al-kitab dalam ayat tersebut adalah “segala sesuatu tidak ada yang dialfakan Allah SWT, semuanya telah termuat di lauh al-mahfuz”
Inilah pandangan sekaligus jawaban para pembela sunnah dalam membantah argumentasi yang diajukan dalam bentuk dalil naqli.Adapun pandangan terhadap argumentasi yang berdasarkan logika adalah;
a. Orang yang memahami bahasa Arab secara baik dari segi tata bahasa demikian juga uslubnya yang dapat dikatakan sebagai pakar bahasa sekalipun tidak akan mampu memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Karena kata-katanya masih banyak yang bervariasi, ada yang global ada pula yang masih mubham dan lain sebagainya ang dalam pemaknaan sangat membutuhkan intrvensi dari sunnah Nabi[20].
b. Realitas sejarah kemunduran umat Islam memang suatu kenyataan dan perpecahan menjadi salah satu penyebabnya, namun tidak tepat kalau menjadikan sunnah sebagai kambing hitamnya. Karena realitas historis juga telah membuktikan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosio-kultural termotivasi oleh hadits nabi disamping al-Qur’an. Ini sebagai bukti kelompok Inkar Al-Qur’an;-sunnah tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam historiografi Islam dan Ilmu Hadits[21].
c. Dalam berbagai literatur dan dokumen historis telah ditemukan perhatian sahabat yang besar terhadap hadits, seperti Ibnu Abbas (w. 69 H) demikian juga Ibnu ‘Amr Ibnu ‘As (w. 65 H), merupakan diantara sahabat yang sangat commited terhadap hadis dan sangat rajin membukukannya dari Nabi. Demikian juga sahabat lain seperti khalifah yang empat29[22].
d. Pandangan Taufiq Sidiq sangat lemah dilihat dari perspektif historiografi, karena dalam beberapa hal dan keadaan cukup banyak para sahabat yang mempunyai koleksi hadits nabi walaupun masih dalam bentuk private collection (koleksi pribadi). Perjanjian Hudaibiyah,Piagam Madinah dan beberapa surat Nabi yang dikirim kepada para Raja
merupakan bukti konkritnya[23].
e. Kritik sanad dengan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil merupakan media dalam melakukan kritik obyektif terhadap kwalitas pribadi dan khazanah intelektual para transmitter (rawi), serta metode yang mereka terapkan dala mentransmisikan hadits tersebut, yang terhimpun dalam bab tahammul wa ‘ada al-hadits[24].
Sunnah telah melahirkan sikap pro-kontra tentang keorisinilannya yang diakui datangnya dari nabi yang diproyeksikan kebelakang sejak abad ke II H. Polemik ini menimbulkan implikasi lebih jauh, yaitu disatu sisi terdapat komunitas masyarakat muslim yang tetap berpegang dan mengakui validitas dan otentisitas hadits sebagai sumber ajaran Islam. Di sisi lain terdapat golongan yang bersikap skeptis dan apriori dengan tetap menolak eksisitensi dan substansi sunnah. Kelompok inilah yang akhirnya
mengkristal menjadi golongan Inkar Al-Sunnah.
Dari berbagai pendapat yang diajukan kelompok Inkar Al-Sunnah, belum menunjukkan sebuah statemen yang mendasar, karena disebabkan beberapa faktor:
1. Penolakan mereka terhadap sunnah lebih menunjukkan sikap skeptis dan apriori, yang tidak didukung serta didasarkan pada studi ilmiah obyektif tentang perkembangan disiplin Ilmu Hadits.
2. Basis dan kapasitas keilmuan mereka yang belum mumpuni dan mendalam terhadap studi yang berkaitan dengan hadits seperti bahasa Arab, histori Islam, sejarah pentransmisian dan pembinaan hadits, lengkap dengan aksesoris yang terdapat didalamnya, seperti kaidahkaidah, istilah-istilah tertentu dalam ilmu hadits, demikian juga dengan metodologi analisis hadits.
3. Sebagian mereka terkesan memaksakan diri untuk hanya memegang al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan dengan statemen yang hanya didasarkan pada penggunaan rasionalitas formal. Disamping itu mereka juga enggan untuk melibatkan diri dalam pengelaborasian Ilmu Hadits dengan metodologi serta pisau analisisnya, yang pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri.
4. Rasa apatis dan anti pati terhadap para sahabat nabi dan orang yang berupaya melakukan pengumpulan dan modifikasi hadits yang diekspresikan melalui sikap skeptis terhadap karya para ulama tersebut.
5. Para pengingkar sunnah tidak memahami realitas hukum Islam, yang memandang sunnah sebagai sumber yang imperatif guna memperoleh formulasi yang utuh dan komprehensif dalam mengistinbatkan hukum.Terutama terhadap persoalan yang secara tekstual tidak termaktub dalam al-Qur’an.
Terlepas dari semua itu, persoalan signifikan yang melatarbelakangi munculnya Inkar al-Sunnah adalah karena timbulnya keraguan mereka terhadap validitas dan otentisitas sunnah yang diproyeksikan kebelakang dari abad kedua Islam. Kondisi ini diperburuk lagi dengan langkanya sumber-sumber obyektif yang independen dan bebas nilai memverifikasi  berbagai fakta realitas-realitas historis.

V. Potret Sebah Gerakan Inkar Al-Sunnah di Indonesia.
Dalam beberapa literatur kita temukan, kelompok-kelompok dalam Islam baik secara terang-terangan maupun sembunyi dikategorikan sebagai kelompok Inkar al-Sunnah. Misalnya golongan khawarij yang menolak hadits yang di riwayatkan oleh aktor intelektual dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa arbitrase. Dmikian juga halnya dengan kelompok mu’tazilah hanya mengingkari sunnah yang tidak memenuhi derajat mutawatir saja.
Sebagian syi’ah juga telah mengingkari sebagian sunnah yang tidak di riwayatkan melalui golongan ahl al-bait[25] demikian juga M. Abduh, Taufiq Sidqi, dan
Risyid Rida yang disinyalir juga penganut paham inkar al-Sunnah[26]. Sementara di anak benua India muncul kelompok yang mengklaim diri sendiri sebagai ahl al-Qur’an yang dikomandoi oleh Ghulam Ahmad Ponvez, yang mengingkari hadits secara keseluruhan[27].
Sementara itu untuk Indonesia juga telah terlihat paham ini yang muncul di Jakarta dan sempat memasuki wilayah Sumatera Barat dengan nama paham Islam Qur’an, yang dipimpin oleh Abdul Rahman, Ircham Sutarto, dan Husni Nasution. Paham ini telah di organisir sedemikian rupa dengan taktik dan strategi yang telah diinventarisasi dan diformulasikan secara rapi. Di antara upaya tersebut adalah;

1. Memanfaatkan media cetak, melalui buku-buku bacaan yang memuat pokok-pokok doktrin dan ajaran mereka, seperti buku Tauhid dan logika al-Qur’an tentang manusia dan masyarakat.
2. Melalui media elektronik dalam bentuk rekaman kaset-kaset.
3. Melalui ceramah-ceramah dan pengajian yang dilaksanakan di masjidmasjid
dan langgar atau pengajian dalam bentuk arisan secara bergantian dari rumah ke rumah.
4. Melalui tenaga pengajar, seperti da’i dan khatib, sebagai orator yang diharapkan mampu menghipnotis para audiensnya.Untuk mendukung eksistensi kelompok ini para pembesarnya telah meletakkan sendi-sendi dan dasar doktrin mereka, di antaranya35[28]:
1. Taat kepada Allah berarti taat kepada Rasulullah, al-Qur’an adalah satusatunya dasar ajaran Islam. Setiap orang yang memahami sumber lain selain al-Qur’an akan menimbulkan kekafiran dan kemusyrikan bagi orang tersebut.
2. Tugas Rasulullah hanya menyampaikan al-Qur’an (wahyu) kepada manusia dan tidak punya otoritas untuk menerangkannya. Dan Nabi Muhammad kapasitasnya sebagai nabi hanya tatkala menerima wahyu itu saja, di luar itu sebagai manusia biasa.
3. Kitab-kitab hadits karya ulama abad II H tidak bisa dijadikan dasar, karena bersumber dari kebohongan yang kemudian dijustifikasikan dengan cara dibaku berasal dari nabi.
Di antara argumentasi yang diajukan mereka adalah [29],
1. Kita wajib mentaati Allah dan keRasulan nabi. Sementara keRasulan nabi itu hanya ketika beliau menerima wahyu saja, sementara diluar atau setelah itu tidak ada lagi kewajiban mentaatinya karena kepastiannya bukan lagi sebagai Rasul.
2. Hadits yang dibaku datang dari Nabi adalah bohong, karena antara satu hadits dengan hadits yang lainnya banyak yang saling bertentangan, bahkan ada hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an.
3. Semua yang datang dari selain al-Qur’an adalah hawa termasuk hadits.Untuk itu tidak bisa dipakai sebagai hujjah.
4. Jika al-Qur’an masih memerlukan penjelasan itu berarti sama dengan al-Qur’an membohongi statemennya sendiri, yang telah diturunkan secara rinci.
5. Rasul tidak punya otoritas sedikitpun dalam urusan agama, berdasarkan surat Ali Imran ayat 128 yang artinya; “tidak ada wewenang (hak) bagi kami tentang urusan (perintah) sedikitpun”.
Paham ini dengan berbagai doktrinnya telah menimbulkan keresahan dalam komunitas masyarakat muslim di Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia demi keamanan, ketenangan dan kemaslahatan komunitas masyarakat muslim Indonesia merasa perlu mengambil kebijakan untuk menghapus gerakan ini.
Berdasarkan keputusan jaksa agung RI nomor. 169/J.A/1983 yang ditandatangani oleh Ismail Saleh, SH (sebagai Kejagung), telah mengeluarkan keputusan untuk melarang penyebaran paham ini, termasuk pengedaran bukubuku, brosur-brosur dan lembaran-lembaran yang memuat doktrin dan ajaran tersebut [30]







VI. KESIMPULAN


1. Penganut paham inkar al-sunnah adalah orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an.
2. Kelompok inkar al-Sunnah ini mempunyai berbagai argumentasik yang dikedepankan sebagai memberikan justifikasi terhadap statemen yang mereka kemukakan. Argumentasi yang mereka ajukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentasi dalam bentuk ras secara tekstual (naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal (aql), sebagaimana yang telah dipaparkan diatas.
3. Para pembela sunnah mengatakan seluruh argumentasi yang diajukan atau dikedepankan oleh kelompok inkar al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas kaum muslimin. Dan para intelektual dari kalangan muhaddisin membantah terhadap statemen dan argumentasi-argumentasi yang mereka ajukan.





















DAFTAR PUSTAKA
Fazhur Rahman, Islamic Methodology In History, Karachi, Central Institude ofIslamic Research, 1965.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta,Djambatan, 1992.
M, Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,Jakarta, Gema Insani Press, 1992.
Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi’i, Al-Um, Beirut: Dar Al-Fikr,tt.
Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta, Media Da’wah, 1984.
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut, Maktab al-Islami, 1980.
Rifat Fauzi, Al-Madkhal Ila Tausiq al-Sunan Wa Bayan Makanatiha Fi Bina ‘al-Mujtama ‘al-Islami, Mesir, Muassasah al-Kharij, 1978.
Muhammad Abu Rayyah, ‘Adwa ‘Ala al-Sunnah Al-Muhammadiyah, Libanon,News Press, 1964.
Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, Selangor, Media Intelek, 1986.
Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’ruf Misbah, Jakarta, Granada, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami ‘li al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kurub al-Rabbai, 1347 H.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1 992.
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1989.




























ABSTRAKSI

INKAR al-Sunnah berarti mengingkari sunnah dimaksudkan untuk menunjukkan paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadist atau sunnah sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an.
Dikatakan sebagai kelompok Inkar al-Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar al-Hadist, karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari kata hadist. Mengingkaran sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisininya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.






1 Fazhur Rahtnan, Islamic Methodology In History, (Karachi: Central Institude of Islamic Research, 1965), hlm. 68
[2] IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakata: Djambatan,   1992) hlm.428.

[3] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta:
   Gema Insani Press, 1992) hlm. 14.
[4] Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi’I, Al-Um, (Beirut: Daar Al-Fikr, tt), hlm.287
[5] Ibid, hlm. 250-256. Lihat juga Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan
Jawabannya, (Jakarta: Media Da’wan, 1984), hlm. 7.
[6] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,Jakarta, Gema Insani Press,     1992, hlm. 15.
[7] Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta, Media Da’wah, 1984. hlm. 8.
[8] Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Beirut: Maktab al-Islami,    1980). Hlm. 26.
[9] Rif at Fauzi, AI-Madkhal IlaTausiq al-Sunan Wa Bayan Makanatiha Fi Bina’ al-Mujtama’ al-Islami, (Mesir: Muassasah al-Khariji, 1978), hlm. 189.

[10] Muhammad Abu Rayyah, ‘Adwa ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, (Libanon :News Press, 1964). hlm. 46-50
[11] Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi’i, Al-Um, Beirut: Dar Al-Fikr, hlm. 250.
[12] Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, (Selangor : Media Intelek, 1986), hlm.14-20.
[13] Ibid, hlm. 62-63.
[14] Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’aruf Misbah,(Jakarta : Granada, tt),   hlm. 14.
[15]Ilm Jarh wa al-Ta’dil suatu ilmu dengan metode tertentu untuk menentukan cacat dan terpujinya para rawi hadis, yang sangat signifkan dalam menentukan diterima dan ditolaknya sebuah hadis.

[16] Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, hlm. 16
[17] Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut, Maktab al- Islami, 1980, hlm. 57.
[18]  Ibid, hlm. 58.
[19] Al-Qurtubi, Al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, (Kairo : Dar Al-Kutub al-Rabbai, 1347H), hlm. 420.
[20] Muhammad Mustafa al-‘Azami, Dirasat Fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, hlm. 59.
[21] Lihat al-Qur’an surat al-Fatir: 28 dan az-Zumar: 9. Kemudian bandingkan dengan hadis-hadis nabi yang terhimpun dalam Mansur. ‘AH Nasir, al-Taj al-Jami’ li al-Usul fi Ahadits al-Rasul, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1382 H), hlm.61-76.
[22] Ibid.
[23] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm.13-96.
[24] Ibid.hlm 100

[25]  Muhammad Abu Rayyah, op. Cit, hlm. 405-406.
[26] M. Abduh tidak pernah menyatakan dirinya sebagai penganut pakar Inkar al-Sunnah,sehingga tidak    cukup bukti untuk memasukkan namanya sebagai salah seorang penganut paham tersebut.
[27] M ‘Azami, op. Cit, hlm. 45-47.
[28] Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1989), hlm. 167-179.
[29] Ibid, hlm. 171.
[30] Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, hlm. 188-191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar