Rabu, 09 Mei 2012

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM


SEJARAH PEMIKIRAN TASAWUF IBN ARABI
OLEH : NURUL ULYANI

A.    Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah saw. Namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid.
Salah seorang sufi besar dalam sejarah perkembangan tasawuf di dunia islam adalah Ibnu ‘Arabi. Pengaruh Ibnu ‘arabi terhadap perkembangan tasawuf, kususnya tasawuf. Gagasan – gagasan kesufian Ibnu ‘Arabi tersebar keseluruh dunia islam dan mendapat pengikut yang takterhitung jumlahnya.  Di Indonesia sendiri, pemikiran Ibnu Arabi juga berpengaruh besar. Hal ini terbukti dengan banyaknya ulama yang membawa karya-karyanya dan mengikuti pemikirannya.
Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi dengan pemahaman yang ensiklopedis terhadap khazanah ilmu-ilmu Islam. Hampir dalam setiap bidang keilmuan dibahas oleh Ibn ‘Arabi. Mulai dari tafsir, hadis, fiqih, kalam, tasawuf, dan falsafah. Tidak mengherankan jika kemudian beliau mendapat gelar syaikh al-akbar (‘guru agung”) dan muhyi al-din (“pembangkit agama”)[1]. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa Ibn ‘Arabi merupakan salah seorang tokoh sufi yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam.




A.    Kehidupan  Ibnu ‘Arabi itu
Ibnu  ‘Arabi mempunyai nama  lengkap Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullah Haitami Ath-Tha’i. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tanggal  17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M dan meninggal tanggal 28 Robiul awal 638 H / 16 November 1240[2]. Ibn ‘Arabi tumbuh dalam lingkungan spiritual yang kental. Ini yang mendorongnya untuk belajar agama sejak usia  belia. Ia belajar ilmu fikih, hadis, qiraat, dan ilmu-ilmu lain dari para guru besar di zamannya.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla[3]. Ibn ‘Arabi lahir tumbuh dan berkembangan dalam lingkungan keluarga berilmu pengetahuan yang memadai. kasih sayang dan tunjuk ajar secara langsung  yang diterimanya dalam keluarga, telah menyemaikan benih-benih yang siap tumbuh dan berkembang. Dengan demikian secara non formal, keluarga terutama ayahnya telah memberikan dasar-dasar pendidikan pada beliau, yang siap untuk dikembangkan dan ditindak lanjuti lebih arif.
Ibn ‘Arabi memulai pendidikan dasarnya dengan memfokuskan pada bacaan
al-Qur'an dan ilmu qira’at. Pendidikan ini dijalani dengan tekun dan penuh semangat
serta diperoleh dari beberapa orang guru. Diantaranya adalah Abu Hasan bin Muhmmad al-Ra’ini dan Qasim Abd Rahman al-Qurtubi serta Abu Bakar Muhammad bin Khalaf al-Lakhmi[4]. Baginya belajar kepada beberapa orang guru adalah untuk memantapkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga melekat di dalam dada. Selain bidang tersebut beliau tidak lupa mempelajari hadits, fiqh bahkan sastra. Ilmu - ilmu ini juga diperoleh dari beberapa orang gurunya seperti Ibn Zaqrun, Abu al-Qasim Jamal al-Din al-Harsatani, Abu Muhamamd Abd al-Haq ‘Asyibili dan Abu Bakar Muhamad al-Jad.[5]
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590[6], Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majidudin Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi[7].
Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majidudin Ishaq. Kemudian ia bermukim di Aleppo dan Damaskus ( 609 – 612 H ). Serta sempat mensyarah kitab syair Tujuman al-Asywaq ke dalam pengertian mistik.[8] Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir putra Sultan Saladin al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) kepada al-Malik al-Asyraf Muzaffar al-Din Musa untuk mengajarkan semua karya-karyanya.[9] Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
C.Karya-karya Ibn ‘Arabi
.Karya-karya penting Ibn ‘Arabi di antaranya adalah 1). Al-Futuhat al Makkiyyah, sebuah karya ensiklopedis yang merangkum kekayaan religius dan gnostik dalam Islam. Kitab ini merupakan karya terpenting dan utama Ibn ‘Arabi yang di dalamnya beliau menguraukan inti ajaran mistisismenya; 2). Fushus al-Hikam, kitab ini berupaya membahas tentang penyingkapan hikmah ketuhanan kepada para nabi; 3). Tarjumanul al-Asywaq, sebbuah buku kumpulan syair cinta spiritual.
Mengenai metode praktis yang harus diikuti para murid dan salik tarikat (thariqah), seperti al-Risalat al-Khalwah dan al-Washaya.
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan urusan religius dan spiritual.
Secara kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibn ‘Arabi.[10]
  1. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Written in Andalusia, 590/1194).
  2. Al-Tadbirat al-Ilahiyya ( Written in Andalusia.)
  3. Kitab Al-Isrâ’ Written in Fez, 594/1198.
  4. Mawaqi al-Nujûm Writen in Almeria, 595/1199.
  5. ‘Anqa` Mughrib Written in Andalusia, 595/1199.
  6. Insha’ al-Dawa’ir Written in Tunis, 598/1201.
  7. Mishkat al-Anwâr Written in Mecca, 599/1202/03.
  8. Hilyat al-Abdal Written in Taif, 599/1203.
  9. Rûh al-Quds  Written in Mecca, 600/1203.
  10. Taj al-Rasâil Written in Mecca, 600/1203.
  11. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601/1204.
  12. Tanazzulat al-Mawsiliyyai Written in Mosul, 601/1205.
  13. Kitab al-Jalal wa al-Jamâl Written in Mosul, 601/1205.
  14. Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu Mosul, 601/1205.
  15. Fusûs al-Hikam Damascus, 627/1229.
  16. al-Futûhât al-Makkiyya Mecca, 1202-1231 (629)

D.Pemikiran Ibnu Arabi
Konsep tasawwuf Ibnu Arabi dibangun atas dasar spiritual dan pencapaian Maqam terbaik mulai dari iman, Islam, dan Ihsan. Selain itu, menurut Ibnu Arabi, konsep kewalian merupakan hasil dari kedua tingkatan maqam yaitu maqam ihsan dan cinta yang sesuai dengan nash syariat. Tasawwuf adalah kumpulan akhlaq islami karena syariat tidak hanya mencakup dimensi lahir tapi juga batin. Tasawwuf mengajarkan rasa takut, pengharapan, dan ikhlas. Maka, barang siapa yang berhasil melewati tingkatan-tingkatan itu, mereka berhak atas tingkatan cinta. Selain itu, Ibnu Arabi berbicara tentang konsep ketuhanan, cinta, dan kewalian sesuai dengan nash al-Qur'an dan hadits atas prinsip ihsan, bebuat baik semata-mata untuk Allah.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Yaitu paham tentang keesaan wujud Allah dan alam, yang kemudian dapat disederhanakan rinciannya dalam tiga masalah pokok meliputi : Ketuhanan, alam dan manusia.[11] Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.[12]
a. Ajaran tentang Ketuhanan
Orang-orang yang mempunyai faham bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,Tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan. Paham ini merupakan perluasan dari paham hulul dari Husen Ibnu Mansur al-Hallaj. Karena maksud yang ada dalam hulul diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek sebelah dalam disebut haq. Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar merupakan ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat Ketuhanan. Dalam kontek ini al-Haq adalah Allah, sang pencipta, Yang Esa, wujud dan wajib wujud. Sedangkan al-Khalaq adalah alam, makhluk, yang banyak.[13]  
Menurut Ibn ‘Arabi , wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun padan-Nya. Dengan kata lain, hakikat alam semesta ini mempunyai dua sisi : a. al-Haqq         ( Tuhan )Yang Esa, Qadim dan Awwal. b. al- Khalaq ( makhluk ) yang banyak, baru, lahir.[14]
Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah ketunggalan wujud atau wahdah al-wujud yaitu sebuah pandangan bahwa tak ada wujud yang sejati, yang mutlak, yang mencakup semua wujud, kecuali Allah Yang Maha Esa. Kemutlakan wujud Allah akan “menenggelamkan” wujud-wujud yang lain. Dengan logika ini, maka makna dari syahadat “La> ila>ha illalla>h” ialah bahwa saya bersaksi tiada sesuatupun yang memiliki wujud yang sejati kecuali Allah. Konsekuensinya, segalanya selain Allah, termasuk manusia dan dunia, tidak benar-benar ada. Artinya semuanya itu tidak berada secara terpisah dari, dan sepenuhnya bergantung pada, Allah. Yang selain Allah itu tampil sebagai wujud-wujud terpisah semata-mata hanya karena keterbatasan-keterbatasan persepsi manusia. Ibnu Arabi dalam menjelaskan “wujud yang bergantung” ini menggunakan istilah “bayangan” dalam sebuah cermin. Gambar dalam sebuah cermin meskipun “ada” dan “kelihatan”, bagaimanapun juga ia hanyalah “ilusi” atau “bayangan” dari aktor yang bercermin. Ketika Sang Aktor menggunakan ribuan cermin, maka bayangannya akan menjadi banyak, pada hal hakikatnya tetaplah Satu.
Konsep wahdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki/mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak. Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat big bang, Oleh karena itu alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.
Harus dipahami bahwa paham Ibnu ‘Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan-Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam panteisme. Menurut Ibnu ‘Arabi keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain-Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara wahdatul wujud dengan pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wahdatul wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi bagi penganut pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin ketunggalan wujud Ibnu ‘Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud. Apakah wujud setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist-by other. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir. Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan sebagainya.[15]
Menurut Ibnu ‘Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Berbeda denga Abu> Yazid dan al-Hallaj yang percaya bahwa tujuan tertinggi jiwa ialah penyatuan-diri (ittihad) dengan Tuhan. Ibnu ‘Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan-diri (fana’). Dan pada saat itulah, ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu; kesatuan antara yang mencipta dengan yang dicipta, yang tampak dan yang tak-nampak, yang abadi dan yang binasa.
Selanjutnya perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kesatuan metafisis Ibnu ‘Arabi sepenuhnya berbeda dengan “mistisisme uniter’ milik Abu Yazid dan Al-Hallaj yang ajaran keduanya cenderung bersifat personal dan eksistensial. Kesatuan yang diwacanakan oleh kedua sufi tersebut hanya mencakup kesatuan atau keserupaan antara sufi dan Tuhan—yang oleh literartur mistis sering disebut Sang Kekasih atau Kebanaran (al-Haqq).
b. Ajaran tentang Alam
Tentang ala mini, Ibnu ‘Arabi membedakannya dalam 4 macam yaitu :
a. Alam Jabarut.
    Tempat sabda Ilahi dan Daya rohani
b. Alam Mitsal.
    Tempat himmah dan doa-doa para wali
c. Alam Nasut
   Alam Manusia
d. Alam Malakut
yaitu alam Malaikat[16].

            Keempat macam  alam tersebut berasal dari apa yang disebut Ibnu ‘Arabi, yakni akal ilahi yang merupakan wadah bertajallinya Allah untuk pertama kalinya pada tingkat ahadiyah.
c. Ajaran tentang Manusia
            Manusia menurut Ibnu ‘Arabi tidak seluruhnya dapat menjadi tajalli Allah.[17] Hanya manusia yang sempurna ( insam Kamil )yang dapat menjadi tajalli Allah. Yaitu manusia yang telah mencapai tinggkat tertinggi dalam martabat kemanusiaanya, atau dalam dirinya terdapat nur Muhammad.[18]
D.Penyebab maraknya pemikiran Ibnu Arabi yang dianggap bertentangan.
Hal ini telah dibahas dalam buku beliau "Syarh Kalimat Shufiyah". Bahasannya panjang lebar yang tertuang di hampir 18 halaman tersendiri. Tiap baitnya beliau nukilkan  dari perkataan Ibnu Arabi. Hasilnya, tidak satupun nyang mendukung konsep Wihdatul Wujud (pengakuan beliau) sebagi mana yang dipahami golongan zindiq. Banyak terjemahan karya Ibnu Arabi yang salah dalam tidak selaras dengan teks aslinya, kerena dua kemungkinan, pertama kerena ketidaktahuan dan kedua faktor kesengajaan untuk memanipulasi pandapat-pendapat Ibnu Arabi




KESIMPULAN
1. Ibn Arabi berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab Al-Haitami yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh.Dia memiliki nama lengkap muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah at-Tha’i Al-Haitami. Lahir di Murcia, andalusia tenggara Spanyol tahun 510 H.
2. Ibn Arabi adalah penulis yang produktif ,yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis. Diantara hasil karya yang sangat monumental adalah al-Futuhat Al-Makiyyah dan Tarjuman Al-Asywaq
3. Ajaran Tasawufnya adalah tentang Wahdat Al-wujud , menurutnya semua yang ada ini adalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
4. Dalam hubungannya antara Tuhan dengan Alam, dia menjelaskan bahwa alam ini adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai wujud sebenarnya.
5. Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.



Daftar Pustaka
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 2004
Ensiklopedi Islam, Ichitar Baru Jakarta 2005
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam mengenai Ibnu ‘Arabi yang ditulis William C. Chittick
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan
Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, (Penerbit Mizan, Bandung, 2004)
Kausar Azhari, IBNU AL-‘ARABI wahdat al-wujud Dalam Perdepatan, Paramadina Jakarta 1995
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Srigunting Jakarta 2001
Nurasiah Faqihsultan, Meraih HakikatbMelalui Syariat, Mizan Pustaka Bandung 2005
Oxford New York, University Press 1995,









[1] Kausar Azhari, Ibnu aL-‘Arabi  wahdat al-Wujud Dalam Perdepatan, ( Paramadina Jakarta 1995), hal 17
[2]  M. Armando,Ensiklopedi Islam,( Jakarta Ichtiar Baru Van Hoeve 2005), 66
[3] Nurasiah Faqihsultan, Meraih HakikatbMelalui Syariat (Bandung Mizan Pustaka 2005 ), 30
[4] Oxford New York, ( University Press 1995), 160
[5] Nurasiah Faqihsultan, 36
[6] Noer Iskandar al-Barsany, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, (Jakarta : Srigunting 2001), 155
[7] Ensiklopedi Islam, hal 67
[8] Ibid, hal 67
[9] Kautsar Azhari Noer, 24
[10] Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam mengenai Ibnu ‘Arabi yang ditulis William C. Chittick hal. 617-618
Buku Saku Filsafat Islam, hal. 150-151

[11] Noer Iskandar, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Srigunting Jakarta 2001, hal 157
[12] Kausar Azhari Noer, hal 43
[13] Ibid, hal 46
[14] Noer Iskandar, hal 161
[15] HTTP : //AMOLI. WORDPRESS.COM/2010

[16] Ibid, hal 163
[17] Ibid, hal 165
[18] Dwi Sukarya, KonsepnIbn ‘Arabi Tentang Kenabian Dan Aulia,Grafindo Jakarta 1990, hal206

Tidak ada komentar:

Posting Komentar