SEJARAH
PEMIKIRAN TASAWUF IBN ‘ARABI
OLEH : NURUL ULYANI
A.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan
dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang
hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa
kehidupan Rasulullah saw. Namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil
kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan
ilmu tauhid.
Salah seorang
sufi besar dalam sejarah perkembangan tasawuf di dunia islam adalah Ibnu
‘Arabi. Pengaruh Ibnu ‘arabi terhadap perkembangan tasawuf, kususnya tasawuf. Gagasan
– gagasan kesufian Ibnu ‘Arabi tersebar keseluruh dunia islam dan mendapat
pengikut yang takterhitung jumlahnya. Di
Indonesia sendiri, pemikiran Ibnu Arabi juga berpengaruh besar. Hal ini
terbukti dengan banyaknya ulama yang membawa karya-karyanya dan mengikuti
pemikirannya.
Ibn ‘Arabi adalah seorang sufi dengan pemahaman yang
ensiklopedis terhadap khazanah ilmu-ilmu Islam. Hampir dalam setiap bidang
keilmuan dibahas oleh Ibn ‘Arabi. Mulai dari tafsir, hadis, fiqih, kalam,
tasawuf, dan falsafah. Tidak mengherankan jika kemudian beliau mendapat gelar syaikh al-akbar
(‘guru agung”) dan muhyi
al-din (“pembangkit agama”)[1].
Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa Ibn ‘Arabi merupakan salah seorang tokoh
sufi yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
A. Kehidupan Ibnu ‘Arabi itu
Ibnu
‘Arabi mempunyai nama lengkap Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad bin Ahmad
bin ‘Abdullah Haitami Ath-Tha’i.
Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tanggal 17
Ramadhan
560 H bertepatan
dengan 28 Juli 1165 M dan meninggal tanggal 28 Robiul awal 638 H / 16 November
1240[2].
Ibn ‘Arabi tumbuh dalam lingkungan
spiritual yang kental. Ini yang mendorongnya untuk belajar agama sejak
usia belia. Ia belajar ilmu fikih,
hadis, qiraat, dan ilmu-ilmu lain dari para guru besar di zamannya.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai
Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi
berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad)
sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla[3]. Ibn ‘Arabi lahir tumbuh dan berkembangan dalam lingkungan
keluarga berilmu pengetahuan yang memadai. kasih sayang dan tunjuk ajar secara
langsung yang diterimanya dalam keluarga,
telah menyemaikan benih-benih yang siap tumbuh dan berkembang. Dengan demikian secara non formal, keluarga terutama ayahnya telah memberikan dasar-dasar pendidikan
pada beliau, yang siap untuk dikembangkan dan ditindak lanjuti lebih arif.
Ibn ‘Arabi
memulai pendidikan dasarnya dengan memfokuskan pada bacaan
al-Qur'an dan ilmu qira’at. Pendidikan
ini dijalani dengan tekun dan penuh semangat
serta diperoleh dari beberapa orang
guru. Diantaranya adalah Abu Hasan bin Muhmmad al-Ra’ini dan Qasim Abd Rahman
al-Qurtubi serta Abu Bakar Muhammad bin Khalaf al-Lakhmi[4].
Baginya belajar kepada beberapa orang guru adalah untuk memantapkan ilmu
pengetahuan yang diperolehnya, sehingga melekat di dalam dada. Selain bidang
tersebut beliau tidak lupa mempelajari hadits, fiqh bahkan sastra. Ilmu - ilmu
ini juga diperoleh dari beberapa orang gurunya seperti Ibn Zaqrun, Abu al-Qasim
Jamal al-Din al-Harsatani, Abu Muhamamd Abd al-Haq ‘Asyibili dan Abu Bakar
Muhamad al-Jad.[5]
Pada masa mudanya Ibn
‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis
bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590[6],
Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200,
sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun
kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang
syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini
mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula
ia berjumpa dengan Majidudin Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak
akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr
al-Din al-Qunawi[7].
Selama beberapa tahun
Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci
Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I
dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majidudin
Ishaq. Kemudian ia
bermukim di Aleppo dan Damaskus ( 609 – 612 H ). Serta sempat mensyarah kitab
syair Tujuman al-Asywaq ke dalam
pengertian mistik.[8]
Ibn
’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat
berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik
Zhahir putra Sultan Saladin al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233,
Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya,
termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber
awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode
tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan
salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234,
Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) kepada al-Malik al-Asyraf
Muzaffar al-Din Musa untuk mengajarkan semua karya-karyanya.[9] Ia
pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang
menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa
dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris
seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis
(Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di
Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia
tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke
hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
C.Karya-karya Ibn ‘Arabi
.Karya-karya penting Ibn ‘Arabi di antaranya adalah 1). Al-Futuhat al Makkiyyah,
sebuah karya ensiklopedis yang merangkum kekayaan religius dan gnostik dalam
Islam. Kitab ini merupakan karya terpenting dan utama Ibn ‘Arabi yang di
dalamnya beliau menguraukan inti ajaran mistisismenya; 2). Fushus al-Hikam,
kitab ini berupaya membahas tentang penyingkapan hikmah ketuhanan kepada para
nabi; 3). Tarjumanul
al-Asywaq, sebbuah buku kumpulan syair cinta spiritual.
Mengenai metode praktis yang harus
diikuti para murid dan salik tarikat (thariqah), seperti al-Risalat
al-Khalwah dan al-Washaya.
Syaikh al-Akbar juga menulis berbagai
aspek al-Quran, termasuk simbolisme huruf-huruf, mengenai asma’ dan sifat
Ilahiah, mengenai syariat dan hadis dan hampir semua yang berkaitan dengan
urusan religius dan spiritual.
Secara kronologis, berikut ini adalah
daftar karya-karya Ibn ‘Arabi.[10]
- Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Written in Andalusia, 590/1194).
- Al-Tadbirat al-Ilahiyya ( Written in Andalusia.)
- Kitab Al-Isrâ’ Written in Fez, 594/1198.
- Mawaqi al-Nujûm Writen in Almeria, 595/1199.
- ‘Anqa` Mughrib Written in Andalusia, 595/1199.
- Insha’ al-Dawa’ir Written in Tunis, 598/1201.
- Mishkat al-Anwâr Written in Mecca, 599/1202/03.
- Hilyat al-Abdal Written in Taif, 599/1203.
- Rûh al-Quds Written in Mecca, 600/1203.
- Taj al-Rasâil Written in Mecca, 600/1203.
- Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601/1204.
- Tanazzulat al-Mawsiliyyai Written in Mosul, 601/1205.
- Kitab al-Jalal wa al-Jamâl Written in Mosul, 601/1205.
- Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu Mosul, 601/1205.
- Fusûs al-Hikam Damascus, 627/1229.
- al-Futûhât al-Makkiyya Mecca, 1202-1231 (629)
D.Pemikiran
Ibnu Arabi
Konsep tasawwuf Ibnu Arabi dibangun atas
dasar spiritual dan pencapaian Maqam terbaik mulai dari iman, Islam, dan Ihsan.
Selain itu, menurut Ibnu Arabi, konsep kewalian merupakan hasil dari kedua
tingkatan maqam yaitu maqam ihsan dan cinta yang sesuai dengan nash syariat.
Tasawwuf adalah kumpulan akhlaq islami karena syariat tidak hanya mencakup
dimensi lahir tapi juga batin. Tasawwuf mengajarkan rasa takut, pengharapan,
dan ikhlas. Maka, barang siapa yang berhasil melewati tingkatan-tingkatan itu,
mereka berhak atas tingkatan cinta. Selain itu, Ibnu Arabi berbicara tentang
konsep ketuhanan, cinta, dan kewalian sesuai dengan nash al-Qur'an dan hadits
atas prinsip ihsan, bebuat baik semata-mata untuk Allah.
Ajaran
sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat Al-wujud (kesatuan wujud). Yaitu paham tentang keesaan wujud Allah dan alam, yang
kemudian dapat disederhanakan rinciannya dalam tiga masalah pokok meliputi :
Ketuhanan, alam dan manusia.[11]
Wahdat Al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda
pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat Al-wujud
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.[12]
Menurut Ibnu Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurutnya orang yang berfaham ini mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib Al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga adalah mumkin Al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.[12]
a. Ajaran tentang Ketuhanan
Orang-orang
yang mempunyai faham bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,Tidak ada
kelainan dan tidak ada perbedaan. Paham
ini merupakan perluasan dari paham hulul dari Husen Ibnu Mansur al-Hallaj. Karena
maksud yang ada dalam hulul diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi khalq
(makhluk) dan lahut menjadi haq (tuhan). Aspek yang sebelah luar disebut
khalq dan aspek sebelah dalam disebut haq. Menurut paham ini
tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar merupakan ard dan khalq
yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam merupakan jauhar dan haq
yang mempunyai sifat Ketuhanan. Dalam kontek ini al-Haq adalah Allah, sang pencipta, Yang Esa,
wujud dan wajib wujud. Sedangkan al-Khalaq adalah alam, makhluk, yang banyak.[13]
Menurut
Ibn ‘Arabi , wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud
makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik
dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan
wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir
dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada
dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun padan-Nya. Dengan
kata lain, hakikat alam semesta ini mempunyai dua sisi : a. al-Haqq ( Tuhan )Yang Esa, Qadim dan Awwal.
b. al- Khalaq ( makhluk ) yang banyak, baru, lahir.[14]
Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah
ketunggalan wujud atau wahdah
al-wujud yaitu sebuah pandangan bahwa tak ada wujud yang sejati,
yang mutlak, yang mencakup semua wujud, kecuali Allah Yang Maha Esa. Kemutlakan
wujud Allah akan “menenggelamkan” wujud-wujud yang lain. Dengan logika ini,
maka makna dari syahadat “La> ila>ha illalla>h” ialah bahwa
saya bersaksi tiada sesuatupun yang memiliki wujud yang sejati kecuali Allah.
Konsekuensinya, segalanya selain Allah, termasuk manusia dan dunia, tidak
benar-benar ada. Artinya semuanya itu tidak berada secara terpisah dari, dan
sepenuhnya bergantung pada, Allah. Yang selain Allah itu tampil sebagai
wujud-wujud terpisah semata-mata hanya karena keterbatasan-keterbatasan
persepsi manusia. Ibnu Arabi dalam menjelaskan “wujud yang bergantung” ini
menggunakan istilah “bayangan” dalam sebuah cermin. Gambar dalam sebuah cermin
meskipun “ada” dan “kelihatan”, bagaimanapun juga ia hanyalah “ilusi” atau
“bayangan” dari aktor yang bercermin. Ketika Sang Aktor menggunakan ribuan
cermin, maka bayangannya akan menjadi banyak, pada hal hakikatnya tetaplah
Satu.
Konsep wahdatul wujud menyatakan bahwa
tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki/mutlak kecuali Allah.
Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada
apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal
(karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan
bagi keberadaan wujud wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu
selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada
Wujud Mutlak. Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al
mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang
berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang
baru ada pada saat big bang, Oleh karena itu alam semesta ialah wujud al
mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.
Harus dipahami bahwa paham Ibnu ‘Arabi
ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan-Allah itu dengan
Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah
adalah manusia maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam panteisme. Menurut
Ibnu ‘Arabi keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan
integral antara keberadaan selain-Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara
wahdatul wujud dengan pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu
bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wahdatul wujud menganggap bahwa wujud
Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi bagi penganut pantheisme, wujud
Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas
dari sisi logika maupun dalil kepercayaan pantheisme ini adalah sesat.
Doktrin ketunggalan wujud Ibnu ‘Arabi
bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi).
Teori wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala
sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud,
benda-benda mati berwujud. Apakah wujud setiap satu dari mereka sifatnya
berdiri sendiri (self-subsistence)
atau justru subsist-by
other. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara
wujud Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa
membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita menemukan
entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah keberadaan entitas si
Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir. Apalagi dibandingkan dengan
entitas hewan, nabati, dan sebagainya.[15]
Menurut Ibnu ‘Arabi, tahap tertinggi
yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Berbeda
denga Abu> Yazid dan al-Hallaj yang percaya bahwa tujuan tertinggi jiwa
ialah penyatuan-diri (ittihad)
dengan Tuhan. Ibnu ‘Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya.
Saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi
peniadaan-diri (fana’).
Dan pada saat itulah, ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala
sesuatu; kesatuan antara yang mencipta dengan yang dicipta, yang tampak dan
yang tak-nampak, yang abadi dan yang binasa.
Selanjutnya perlu diperhatikan di sini
adalah bahwa kesatuan metafisis Ibnu ‘Arabi sepenuhnya berbeda dengan “mistisisme
uniter’ milik Abu Yazid dan Al-Hallaj yang ajaran keduanya cenderung
bersifat personal dan eksistensial. Kesatuan yang diwacanakan oleh kedua sufi
tersebut hanya mencakup kesatuan atau keserupaan antara sufi dan Tuhan—yang
oleh literartur mistis sering disebut Sang Kekasih atau Kebanaran (al-Haqq).
b. Ajaran tentang Alam
Tentang ala mini, Ibnu ‘Arabi membedakannya dalam 4
macam yaitu :
a. Alam Jabarut.
Tempat sabda Ilahi dan Daya
rohani
b. Alam Mitsal.
Tempat himmah dan doa-doa para
wali
c. Alam Nasut
Alam Manusia
d. Alam Malakut
Keempat
macam alam tersebut berasal dari apa
yang disebut Ibnu ‘Arabi, yakni akal ilahi yang merupakan wadah bertajallinya Allah untuk pertama kalinya
pada tingkat ahadiyah.
c. Ajaran tentang Manusia
Manusia menurut Ibnu ‘Arabi tidak seluruhnya dapat menjadi tajalli
Allah.[17]
Hanya manusia yang sempurna ( insam Kamil )yang dapat menjadi tajalli Allah.
Yaitu manusia yang telah mencapai tinggkat tertinggi dalam martabat
kemanusiaanya, atau dalam dirinya terdapat nur Muhammad.[18]
D.Penyebab
maraknya pemikiran Ibnu Arabi yang dianggap bertentangan.
Hal ini telah dibahas dalam buku beliau
"Syarh Kalimat Shufiyah". Bahasannya panjang lebar yang tertuang di
hampir 18 halaman tersendiri. Tiap baitnya beliau nukilkan dari perkataan
Ibnu Arabi. Hasilnya, tidak satupun nyang mendukung konsep Wihdatul Wujud
(pengakuan beliau) sebagi mana yang dipahami golongan zindiq. Banyak terjemahan
karya Ibnu Arabi yang salah dalam tidak selaras dengan teks aslinya, kerena dua
kemungkinan, pertama kerena ketidaktahuan dan kedua faktor kesengajaan untuk memanipulasi
pandapat-pendapat Ibnu Arabi
KESIMPULAN
1.
Ibn Arabi berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab Al-Haitami yang pada
umumnya terdiri dari keluarga-keluarga saleh.Dia memiliki nama lengkap muhammad
bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah at-Tha’i Al-Haitami. Lahir di Murcia,
andalusia tenggara
Spanyol tahun 510 H.
2.
Ibn Arabi adalah penulis yang produktif ,yang menurut Browne ada 500 judul
karya tulis. Diantara hasil karya yang sangat monumental adalah al-Futuhat
Al-Makiyyah dan Tarjuman Al-Asywaq
3.
Ajaran Tasawufnya adalah tentang Wahdat Al-wujud , menurutnya semua yang ada
ini adalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula.
4.
Dalam hubungannya antara Tuhan dengan Alam, dia menjelaskan bahwa alam ini
adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki. Alam tidak mempunyai
wujud sebenarnya.
5.
Ibn Arabi juga menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak dapat dilepaskan
dari ajaran Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
Daftar Pustaka
Baqir, Haidar, Buku
Saku Filsafat Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 2004
|
Ensiklopedi Islam, Ichitar Baru Jakarta 2005
|
Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam mengenai Ibnu ‘Arabi
yang ditulis William C. Chittick
|
Fakhry, Majid, Sejarah
Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan
|
Haidar Baqir, Buku
Saku Filsafat Islam, (Penerbit Mizan, Bandung, 2004)
|
Kausar Azhari, IBNU AL-‘ARABI wahdat al-wujud
Dalam Perdepatan, Paramadina Jakarta 1995
|
Majid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan
|
Nasr, Seyyed Hossein dan
Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
|
Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Dan
Para Sufi, Srigunting Jakarta 2001
|
Nurasiah Faqihsultan, Meraih HakikatbMelalui
Syariat, Mizan Pustaka Bandung 2005
|
Oxford New York, University Press 1995,
|
[1] Kausar Azhari, Ibnu aL-‘Arabi wahdat al-Wujud Dalam Perdepatan, ( Paramadina Jakarta 1995), hal 17
[10] Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam mengenai Ibnu ‘Arabi
yang ditulis William C. Chittick hal. 617-618
Buku Saku Filsafat Islam, hal.
150-151
[11] Noer Iskandar, Tasawuf Tarekat Dan Para Sufi, Srigunting Jakarta 2001, hal 157
[12] Kausar Azhari Noer, hal 43
[13] Ibid, hal 46
[14] Noer Iskandar, hal 161
[15]
HTTP : //AMOLI. WORDPRESS.COM/2010
[16] Ibid, hal 163
[17] Ibid, hal 165
[18] Dwi Sukarya, KonsepnIbn ‘Arabi Tentang
Kenabian Dan Aulia,Grafindo Jakarta 1990, hal206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar